(peringatan: ini bukan soal sepakbola)
"Kalau tahu begitu, saya ga bakal issue-kan tiketnya."
Oke, itu mungkin bukan kalimat lengkapnya, tapi kira-kira begitulah maksudnya. Yang barusan bilang begitu adalah seorang staf dari Garuda Indonesia, namanya Sisillea. Garuda Indonesia sendiri sudah berbaik hati mensponsori tiket pulang gue kemarin.
Pernyataan itu dia lontarkan karena gue menolak membayar kekurangan biaya-biaya tambahan untuk tiket gue, yang baru gue ketahui lima jam sebelum keberangkatan. Gue jelas enggan menanggung biaya-biaya yang ga pernah disinggung selama hampir dua bulan kami berkorespondensi. Apalagi, hal itu terjadi karena Sari, staf lain yang mengurus tiket gue, lupa.
Dan gue kaget banget sampai ga bisa merespon pernyataan itu, bahkan sampai sambungan telepon itu berakhir.
Sisillea ini sudah membiarkan gue terkatung-katung dengan informasi yang minim selama hampir dua bulan korespondensi terkait prosedur pencairan tiket sponsor.
Dia ga menjelaskan ke gue dari awal komponen-komponen biaya apa aja yang harus gue tanggung dari tiket yang disponsori itu. Padahal gue udah konfirmasi kalau gue mau pulang hari Rabu, 22 Desember 2010, tiga minggu sebelumnya.
Kurang dari seminggu sebelum hari keberangkatan, dia bilang kalau gue harus issue tiket di Jakarta dan suruh gue minta tolong orang lain buat issue tiket, tapi ga ngasih tahu teknisnya dan apa aja yang harus dipersiapkan, walhasil gue ga bisa menemukan siapapun untuk dimintai tolong.
Ketika akhirnya gue meminta kesediaan dia untuk dikirimi duit sama nyokap gue dan jadi perantara untuk bayarin tiket, dia hanya bilang kalau gue perlu bayar biaya servis.
Sepanjang hari Selasa, ga ada inisiatif dari Sisillea dan Sari untuk mengabari status tiket gue, sampai gue kirim email ke Sisillea malamnya.
Baru saat itulah dia bilang kalau sistem di Jakarta lagi down, dan tiket baru bisa di-issue kemungkinan besok paginya. Bayangkan, malam sebelum keberangkatan, Sisillea mengusulkan untuk gue menjadwal ulang tanggal!
Rabu jam sembilan pagi, gue dapat email dari Sisillea, yang bilang kalau ternyata ada dua komponen biaya lain yang ternyata lupa diperhitungkan sama Sari, yaitu pajak pemerintah dan fuel surcharge, totalnya lima puluh empat dolar. Dia sendiri menyadari kalau itu adalah kelalaian dari pihak dia, dan menyatakan kalau Sari akan mengurus tiket gue supaya gue tetap bisa pulang sesuai rencana.
Dan barusan dia bilang kalau dia berharap ga pernah issue tiket itu buat gue?
Oke, mari kita perjelas.
Pertama, maskapai penerbangan nasional ini sudah setuju untuk memberi gue bantuan sponsor berupa tiket, dan sudah mengabari gue bahkan sebelum gue berangkat ke Thailand. Tapi, kemudian gue harus menunggu kabar dari mereka selama hampir tiga bulan, sebelum kemudian berinisiatif datang ke kantor perwakilan mereka di Bangkok untuk menindaklanjuti proposal itu. Tadi, Sisillea berargumentasi kalau pihak yang menyetujui pemberian sponsor ini sudah tidak bekerja di sana lagi, dan dia sudah rela "direpotkan" sama urusan proposal gue karena dia pernah menghubungi gue. Seharusnya, pensponsoran untuk gue ini bukan lagi jadi urusan dia, melainkan jadi tanggungjawabnya Sari, yang ngurusin issue tiket gue. Tapi bahkan si Sari ini hampir ga pernah berkorespondensi sama gue. Sekali-sekalinya dia kirim email adalah buat ngirimin pindaian tiket dan receipt-nya, itupun setelah Sisillea menelepon gue seminggu setelah gue pulang, dan gue bilang kalo gue belum pernah ada kontak sama sekali dengan Sari.
"Saya tahu kami lalai. Tapi saya sudah kasih izin Sari untuk issue tiket mbak Puji. Kalau begini kan jadinya Sari yang harus menanggung (biaya sisa itu)," katanya, ketika gue bilang kalau gue ga mau bertanggungjawab atas kelalaian mereka.
Dengan segala hormat, gue yakin gue ga perlu tahu bagaimana mekanisme internal mereka untuk menyetujui sebuah proposal. Yang lebih penting buat gue adalah mengetahui hak dan kewajiban gue sebagai penerima sponsor, dan itu termasuk bagaimana prosedur issue tiket dan komponen-komponen biaya yang harus gue tanggung, dan bukan dua hari menjelang keberangkatan.
Kedua, gue berkorespondensi dengan Sisillea selama hampir dua bulan, tapi gue hampir ga pernah mendapatkan informasi dari dia tanpa bertanya sebelumnya. Itupun banyak banget pertanyaan gue yang ga pernah direspon. Ketika gue diminta issue tiket di Jakarta, dan otomatis harus minta tolong orang lain, gue tanya seperti apa teknisnya, dan apa aja yang harus dipersiapkan. Sebelumnya, gue udah tanya biaya-biaya apa yang harus gue tanggung, berapa besarnya, dan harus dibayar dengan mata uang apa. Gue tanya tentang bagasi pun ga dijawab.
Karena gue ga kunjung dapat jawaban, sementara tanggal keberangkatan semakin dekat, gue memutuskan minta tolong Sisillea buat issue tiket gue dua hari sebelum hari-H. Baru saat itulah gue tahu kalau gue harus bayar biaya servis sebesar tiga puluh dolar. Dan hanya itu saja, tanpa pajak pemerintah apalagi fuel surcharge. Gue baru dapat nomor rekening Sisillea pada Senin malam, jadi otomatis tiket baru bisa diproses keesokan harinya. Tapi kemudian ternyata hari Selasa itu sistem ticketing-nya rusak.
Gue baru dapat kode booking tiketnya hari Rabu, beberapa menit sebelum jam sebelas siang. Gue disuruh langsung ke bandara buat re-issue tiket di kantor penjualan. Tiket itu baru betulan ada di tangan gue dua jam sebelum keberangkatan. Oh ya, karena gue ga dapat informasi yang jelas terkait bagasi (20 atau 30 kilo? baca ini), akhirnya gue kena excess baggage dan harus bayar dua ribu baht lebih. Jumlah itu berarti hampir setengah dari biaya hidup gue sebulan di Bangkok, setelah hampir enam puluh persen beasiswa gue ditelan oleh sewa apartemen.
Kalau Sisillea bisa lebih responsif dalam menjelaskan semua detail itu selama korespondensi, yang berarti gue tahu sejak awal bahwa biaya yang harus gue keluarkan supaya tiket bisa di-issue adalah $84 dan bukan $30, tentu tiket gue bisa siap lebih awal. Pun gue akan dengan senang hati membayar penuh. Andaikan memang dia berniat baik untuk membantu gue mendapatkan sponsorship, seharusnya segala informasi yang gue butuhkan terkait itu tidak diberikan di saat-saat terakhir, dan bahkan tidak berpikiran untuk tidak mengeluarkan tiket gue, kan?
Ketiga, Sari yang konon bertanggungjawab dalam memproses tiket gue, ternyata lupa memperhitungkan komponen-komponen biaya lain yang seharusnya gue tanggung. Akhirnya, gue diberitahu kalau tiket gue belum di-issue, karena gue harus bayar dua komponen lain, dengan total sebesar lima puluh empat dolar, lima jam sebelum keberangkatan.
Alasan lupa inilah yang membuat gue enggan membayar "sisa kekurangan". Ayolah, ini kan pekerjaan mereka sehari-hari, mereka yang lebih tahu apa dan bagaimananya, masa bisa lupa, sih? Oke, staf maskapai penerbangan juga manusia. Bisa lupa. Tapi bukannya gue ga pernah minta informasi tentang itu sama sekali lho ya, justru pertanyaan-pertanyaan gue itu ga pernah dijawab dengan jelas. Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu di detik-detik terakhir jelas bukan sebuah sikap yang profesional. Maka itu adalah kelalaian mereka, dan sudah sewajarnya kalau yang bertanggungjawab adalah mereka.
Singkat cerita, pada akhirnya gue berhasil pulang ke Indonesia tanggal 22 Desember 2010. Tidak ada penjadwalan ulang, berarti misi membuat kejutan Hari Ibu buat nyokap gue berhasil. Dan pagi ini, setelah beberapa pembicaraan lewat telepon dengan staf ticketing dan juga Sisillea, mereka mengikuti kemauan gue yang enggan bertanggungjawab atas kelalaian dan misinformasi dari pihak mereka. Cukup melegakan.
Dan untunglah, Sisillea tidak sempat melaksanakan idenya untuk tidak mencairkan tiket. Tidak memberikan apa yang sudah jelas-jelas menjadi hak gue, jelas lebih tidak profesional daripada "hanya" teledor menginformasikan komponen-komponen biaya tiket.
Akhirnya, terima kasih banyak, Garuda Indonesia. Salam buat stafnya yang mengurus sponsorship ya. Jangan lupa ingatkan mereka untuk menginformasikan hak dan kewajiban penerima sponsor jauh-jauh hari, supaya tidak ada Sisillea-Sisillea yang lain, yang merespon keberatan konsumen dengan pernyataan yang tidak bijaksana.