Sebagai orang yang buta monarki, gue berangkat ke Thailand dengan pemahaman yang sangat minim tentang keluarga kerajaan. Di Indonesia memang ada sejumlah kerajaan dan kesultanan, tapi toh mereka bertahan dengan alasan yang cenderung kultural, tanpa pengaruh signifikan ke pemerintahan di tingkat nasional. Contohnya Kesultanan Yogyakarta. Tapi, berdasarkan hasil obrolan ilmiah (tsah!) sama Bu Eni Maryani, gue dapet info kalau Sri Sultan Hamengkubuwono X masih dianggap sebagai figur pemimpin yang "sempurna" di Yogyakarta, baik sebagai gubernur maupun raja. Makanya, cerita Bu Eni, segelintir orang Yogya nggak setuju Sri Sultan jadi Presiden. Mereka nggak rela rajanya dicela-cela, sehingga tidak bisa lagi dipuja, karena tidak lagi tampak sempurna.
Itulah sebabnya gue pengen bikin penelitian terkait keluarga kerajaan. Kenapa bukan tentang keluarga kerajaan? Karena topik itu tergolong sesuatu yang teramat sangat sensitif, seperti SARA, jadi agak beresiko dan susah diteliti. Lagipula, gue lebih tertarik dengan pengaruh keluarga kerajaan yang teramat besar, dan bagaimana itu mempengaruhi kehidupan orang-orang di sini. Misalnya, hari Kamis depan bakal ada Mother’s Day atau Hari Ibu, hari libur nasional untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Sirikit. Sejak gue sampai di Bangkok seminggu lalu, foto-foto sang ratu sudah banyak terpampang di seantero kota sebagai tanda penghormatan.
Itulah sebabnya gue pengen bikin penelitian terkait keluarga kerajaan. Kenapa bukan tentang keluarga kerajaan? Karena topik itu tergolong sesuatu yang teramat sangat sensitif, seperti SARA, jadi agak beresiko dan susah diteliti. Lagipula, gue lebih tertarik dengan pengaruh keluarga kerajaan yang teramat besar, dan bagaimana itu mempengaruhi kehidupan orang-orang di sini. Misalnya, hari Kamis depan bakal ada Mother’s Day atau Hari Ibu, hari libur nasional untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Sirikit. Sejak gue sampai di Bangkok seminggu lalu, foto-foto sang ratu sudah banyak terpampang di seantero kota sebagai tanda penghormatan.
Raja Bhumibol Adulyadej, Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn, dan Ratu Sirikit.
(foto diambil dari sini)
(foto diambil dari sini)
Gue belum sempat ngobrol banyak dengan temen-temen gue yang asli Thailand seputar keluarga kerajaan, terutama karena topik ini rawan banget kalo dibahas di tempat umum (kecuali lagi ada di tempat yang orang-orangnya cuma bisa bahasa Thai). Baru seminggu setelah gue di Bangkok, gue tahu kenapa Raja Bhumibol Adulyadej, atau Rama IX, begitu disayangi dan dihormati rakyatnya.
Menurut Tuk, temen gue yang asli Thailand, Rama IX adalah raja yang benar-benar berdedikasi. Beliau sudah jadi seperti ayah bagi seluruh rakyatnya. Maka, dengan alasan yang sama terkait dirayakannya Hari Ibu, Hari Ayah di Thailand dirayakan untuk memperingati hari ulang tahun sang raja.
Rama IX adalah raja yang memperkenalkan hujan buatan di Thailand, dan hujan yang pertama kali itu dia bikin sendiri. Kalau ada konflik di daerah pemerintahannya, sejauh dan seterpencil apapun, beliau akan datang sendiri untuk menenangkan keadaan. Sang raja juga menguasai semua bahasa daerah suku-suku di Thailand, jadi nggak ada cerita rajanya gagap komunikasi atau butuh penerjemah lokal. Waktu terjadi pertumpahan darah di Thailand tahun 1972 dan 1993, konflik reda seketika begitu sang raja membuat pernyataan publik, yang singkat tapi mengena, "Sesama orang Thailand tidak saling bunuh".
Jadi inget cerita Pompam, asisten dosen di kampus gue, kalau sampai sekitar sepuluh tahun lalu, Raja akan datang ke acara wisuda universitas-universitas negeri di seluruh Thailand. Bukan cuma hadir sebagai tamu kehormatan atau ngasih kata sambutan, tapi Raja bakal menyerahkan ijazah langsung pada para wisudawan. Karena alasan kesehatan, kegiatan ini akhirnya digantikan oleh putri sang raja. Maklumlah, satu kali acara wisuda bisa berdiri lama banget, tiga sampai lima jam nonstop!
Itu cuma sedikit dari banyak alasan kenapa Rama IX begitu dipuja "anak-anak"nya. Maka, jangan heran kalau ada lèse-majesté – hukuman berat bagi mereka yang melakukan penghinaan terhadap keluarga kerajaan. Bisa-bisa berurusan panjang lebar sama polisi dan berakhir lima belas tahun di penjara, tidak peduli pelakunya orang lokal atau pendatang. Tapi, kalau kata Tuk, orang-orang macam ini tidak akan dipenjara – mereka bisa jadi mati duluan di tempat karena dihakimi massa. Orang Thailand tidak rela kalau sosok yang begitu berjasa bagi kehidupan mereka dibicarakan keburukannya. Jadi, hati-hati dengan penggunaan kata บิดา (Bidā), yang artinya "father" atau "ayah" di ruang publik.
"Cinta pada 'ayah'-lah yang bikin negara ini (masih) bersatu," bilang Tuk.
p.s : Gue ga bisa buka halaman wikipedia yang isinya profil raja, diblokir karena isinya dianggap berbahaya. Tapi, ini dan ini lumayan banget buat tambahan informasi. Kalau Departemen Kominfo bisa punya kekuatan semacam ini, mereka bakal blokir apa ya?
4 feedbacks:
Hai, menarik sekali blognya.. :)
Kebetulan udah lama aku penasaran kenapa rakyat Thailand bisa cinta mati sama rajanya
Akhirnya terjawab juga disini
thanks for the info^^
Waah, sama-sama ya! Senang bisa membantu :)
ini infonya ngebantu banget, mau tanya, kamu kuliah di thailand? di univ apa?
boleh minta alamat e-mail? kuliah di chulalongkorn? pengen minta info kuliah disana gimana ya?
Post a Comment