Thursday 26 August 2010

warning: tulisan ini (agak) serius.

Sejauh yang saya tahu, media massa itu punya kekuatan yang dahsyat. Kalau dia raja, mungkin bisa ditambah dengan kata "maha" di depan kata dahsyat, untuk membedakannya dari acara musik di televisi. Kekuatan itu punya daya yang besar untuk mempengaruhi siapa-siapa yang menikmatinya. Seperti apa dan bagaimana kekuatan itu bisa jadi begitu berpengaruh, membuatnya jadi begitu menarik untuk dikaji (dan menakutkan untuk Menkominfo). Maka, di perpustakaan kampus saya, waktu berburu contoh-contoh skripsi sebagai referensi mata kuliah Seminar, sudah tidak aneh rasanya menemukan judul yang dimulai dengan "Pengaruh Media XXX terhadap YYY" atau semacamnya.

"Media" dan "influence" sudah menjadi kata kunci atas rasa penasaran banyak orang, yang kemudian termanifestasi dalam penelitian-penelitian. Saya juga terjangkit rasa penasaran itu. Tapi, alih-alih penasaran tentang bagaimana "media mempengaruhi", saya lebih tertarik tentang apa (-siapa?) yang "mempengaruhi media". Jika media bisa punya kekuatan mempengaruhi yang dahsyat bagi khalayaknya, yang punya kekuatan untuk mempengaruhi media pasti sakti mandraguna (atau, paling tidak, banyak duitnya).

Berada di Thailand dan menikmati sajian media massa setempat adalah pengalaman yang menarik. Televisi mungkin sebuah pengecualian, karena di apartemen saya tidak ada televisi. Radio juga mungkin iya, karena bahasanya saya tidak pahami. Koran lokal juga iya, karena saya bahkan tidak bisa baca hurufnya.

Sejak sampai di negeri gajah putih ini, saya hampir tidak pernah menonton televisi. Sekalinya nonton, yang ada di layar kaca adalah dua ekor panda asal kebun binatang di Chiang Mai, yang aktivitasnya disiarkan langsung oleh Panda Channel dua puluh empat jam sehari. Waktu saya nonton, panda-panda itu cuma lagi tidur sambil menggeliat, tapi Linda terus-terusan bilang, "aih lucu bangeeeeeet...". Err... I wonder why Thai people loves panda better than elephant.

Walhasil, saya banyak beroleh informasi dari internet. Acara televisi dan radio bisa di-streaming, dan koran berbahasa Inggris bisa dibaca halaman elektroniknya. Untuk menikmati akses internet tanpa batas di apartemen, saya harus membayar ekstra 400 baht setiap bulan - harga yang lumayan untuk kecepatan mengunduh rata-rata seratus kilobyte per detik. Yang mahal justru tarif listriknya, yang konon untuk pemakaian mahasiswa alakadarnya saja bisa mencapai 1.000 baht sebulan. So much to spend to stay updated? Welcome to Thailand...

Singkat cerita, berbekal apa yang sudah dan sedang dikonsumsi dari media setempat, saya terpicu untuk membuat sebuah penelitian. Tentang kekuatan macam apa yang begitu berdaya untuk mempengaruhi isi media massa, apa yang sudah diperbuat oleh kekuatan itu, dan apa yang terjadi kemudian. Tapi saya tidak sedang membicarakan konglomerasi. Ada kekuatan lain, yang di Indonesia dahulu pernah begitu berpengaruh di masa Orde Baru. Inilah, menurut saya, yang menjadi suatu hal yang sama-sama ada di Thailand dan Indonesia. Mudah-mudahan, hal ini juga bisa menjadi salah satu signifikansi yang membuat penelitian saya kelak memiliki nilai akademis tinggi.

Rasa penasaran pribadi ini sedikit-sedikit mulai terfasilitasi. Saya bercita-cita menghabiskan tiga bulan sisa waktu di Thailand untuk memburu jawaban-jawaban atas rasa penasaran itu. Supaya kelak, saat pulang nanti, hasil buruan itu bisa membantu saya mengakhiri karir akademik sebagai mahasiswa jurnalistik.

Nanti, setelah resmi tamat kuliah dan bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi, saya mau mencari rejeki (dan jodoh? hahaha) di luar Indonesia. Deutsche Welle sepertinya seru, Al Jazeera boleh juga. Supaya bisa bertahan hidup di belantara lalu lintas negara tujuan, saya mau belajar naik sepeda. Saya akan tinggal di apartemen studio dengan balkon dan pemandangan lampu kota. Di waktu senggang, saya mau ikut kelas yoga. Di akhir pekan, saya akan pergi bersuka ria. Saya juga akan rajin menabung, supaya bisa centil-centilan di spa, dan tidak sengsara di hari tua. Mumpung bulan puasa, saya mau jadi ekstra manja.

sahur, sahur sendiri...

hari senin, dapat pinjaman rice cooker. gembiranya bukan kepalang. dasar orang asia, ujung-ujungnya pasti pengen makan nasi.

hari selasa, baru nyuci rice cooker dan memandanginya dengan jumawa, sambil mengkhayal nanti mau masak apa. beli beras dua kilo di tesco lotus. karena gue pecinta produk dalam negeri, gue beli beras thailand dong. hehe.

hari rabu, untuk pertama kalinya berhasil masak nasi di apartemen. tapi ga berhasil makan sahur pakai nasi panas gara-gara ketiduran dan baru bangun sepuluh menit setelah subuh. pas pulang lagi malamnya dan ga tau nih nasi kering mau diapain.

hari kamis, untuk pertama kalinya menggunakan mesin penanak nasi untuk memasak bubur, dan berhasil berhasil berhasil hore! biar penampilan dan rasanya makin menggoda, gue tambahin abon sapi yang diimpor dari pasar palasari. sebenernya gue agak-agak geuleuh gimanaaa gitu ya kalo makan abon, soalnya serpihan-serpihannya itu bikin piring bekas makan gue jadi tampak berbulu kaya rhoma irama, tapi yaudah lah ya. yang penting enak! yum yum!

p.s: gambar makanan sahur perdana gue di apartemen ini akan dimuat setelah subuh. hahahaha :))

puasa sambil kuliah part 1

ini minggu pertama gue puasa sambil kuliah, setelah sebelumnya libur khusus perempuan. hohoho.

kuliah performing arts minggu ini agak garing, karena om-om asal inggris yang datang minggu lalu ga datang lagi minggu ini. masih ngomongin romeo and juliet, kuliah kali ini diisi dengan screening beberapa adegan kunci dari dua versi film romeo and juliet (1968 dan 1997). tentu saja termasuk adegan cium-mencium. aduh, cobaan bulan puasa.

tapi bulan puasa juga membawa rezeki, karena pas hari senin mampir ke rumah linda buat minjem kipas angin, gue dipinjemin rice cooker sekalian. oh, senangnya bisa sahur nasi panas di apartemen! tapi tadi malam gue ketiduran dan baru bangun jam lima pagi, sial.
moral of the day #1: lebih baik sahur sekarang daripada ditunda-tunda sampai ketiduran.

bulan puasa kali ini godaannya banyak. dengan cuaca di atas tiga puluh derajat celsius pada siang hari, tidak ada yang lebih menggoda daripada iced thai tea dengan bubble yang harganya cuma lima belas baht. dan, tentu saja, hampir semua orang di pinggir jalan bisa minum dengan bahagianya. eh, ada yang lebih menggoda deng. tawaran jadi n1 adjudicator di sini. haha, i will be an adjudicator from chulalongkorn university!

maka dari itu, dimulailah petualangan gue di chulalongkorn english debating society. hari ini ada dua debat, mulai jam enam dan selesai jam sembilan. habis itu dinner sama empat anggota lain yang masih tersisa, terpaksa makan ikan bakar seharga 80 baht di restoran steak gara-gara tempat makan yang lain udah tutup semua, dan pulang naik taksi sesudahnya. sampai apartemen jam sebelas malam, wow. untung taksi dari sam yan ke rong mueang cuma 40 baht.

bulan puasa kali ini juga penuh dengan perjuangan. mau shalat di kampus ternyata susah, karena ga ada mushala di fakultas. kata staf di kantor sih ada, di chamcuri 5, tapi rada jauh. ah, malasnya. jadi kemarin numpang shalat di meeting room, dan hari ini pinjam ruang kosong di chamcuri 9 (gedung student center). tapi kedua ruangan itu ga berkarpet, dan lantainya agak-agak berdebu gitu. haduuuh.
jadi, moral of the day #2: besok beli koran, lumayan buat sajadah darurat. you can never be too prepared.

all in all, puasa hari ini menyenangkan. selesai kuliah thai culture, ada wawancara di kantor fakultas sama mahasiswa-mahasiswa dari jurusan advertising, thai program. mereka mau wawancara mahasiswa pertukaran buat tugas mata kuliah english interview, katanya. gue ga sendirian, tapi bareng malorie sama ken. para pewawancara ini bawa sesajen pula, sekotak manisan dan sekotak lagi mini crepes yang renyah. ada juga yang bawa semangka dan jambu, maksud hati buat cemilan pribadi tapi toh akhirnya dibagi-bagi. tapi karena belum waktunya buka puasa, gue harus berpuas hati hanya menyaksikan orang lain makan. eh, ternyata malorie sama ken cuma nyicipin sebagian sesajen doang, sisanya dikasih ke gue semua, dan masih banyak banget. ah, senangnya bisa berbuka dengan yang manis (dan gratis), hehehe.

sekarang sepuluh menit menjelang jam dua pagi. menu sahur hari ini, karena tadi ga sempat beli lauk di warung, adalah nasi dan abon.. mungkin tambah supermi biar ada kuahnya. supaya agak lebih bergizi, ada apel, susu kedelai, yoghurt stroberi, dan... honey stars! :D

selamat puasa teman-teman! foto-fotonya menyusul ya...

Thursday 19 August 2010

"barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan"

Merasa familiar dengan kalimat itu?
Di Indonesia, kalimat yang banyak tampil di kuitansi pembelian barang itu sudah terlalu sering jadi senjata ampuh bagi penjual (apalagi yang nakal) dan kartu mati bagi pembeli (terutama yang sial). Jadilah nyokap gue, dengan pengalaman profesionalnya sebagai Quality Control paling bawel sedunia, selalu rajin menasihati gue untuk "teliti sebelum membeli". Efek sampingnya adalah gue jadi orang yang picky minta ampun, dan tidak terbatas dalam hal belanja, hahaha.

Sebetulnya sih tidak semua barang yang sudah dibeli itu "tidak dapat ditukar atau dikembalikan". Waktu gue SD, gue pernah dapet sepatu warna putih dari Sinterklas (yep, my mum brought me to an event in a mall where we can meet Santa Claus and he will gave us presents because we were "good kids"), tapi ternyata kegedean satu nomor. Hari berikutnya, sepatu itu tiba-tiba ukurannya pas, karena nyokap balik lagi ke toko buat nuker itu sepatu. Salah satu contoh lain bahwa barang yang sudah dibeli "bisa dikembalikan" bisa dilihat di film My Name Is Khan, waktu Shahrukh Khan bilang ke anak tirinya, "return policy only fourteen days". Oprah Winfrey, yang sering bahas tentang orang Amerika yang kebanyakan belanja, juga sering nampilin orang-orang yang cerita kalau mereka akhirnya ngembaliin barang yang udah dibeli setelah sadar kalo sebenarnya barang yang dibeli itu ga penting (-penting amat).

Beralih dari return policy, pernah dengar istilah culture shock? Biasa dialami oleh orang-orang yang baru datang ke tempat yang baru dengan budaya yang berbeda - dalam bahasa Indonesia biasa disebut gegar budaya?
Nah, di sini, gue mengalami hal yang serupa tapi tak sama: customer shock.

Sebelum berangkat, gue beli buku Rp. 2 Juta Keliling Thailand, Malaysia, & Singapura-nya Claudia Kaunang. Dari sana gue mengenal Boots, toko produk kosmetik dan perawatan diri yang berbasis di Inggris Raya tapi pabriknya ada di Thailand. Toko ini sepertinya sangat menyenangkan untuk penggemar body care product macam gue (yang sejauh ini hanya bisa ngeceng barangnya, tapi begitu liat price tag-nya langsung mundur). Sampai sebelum pindahan pun, gue ga beli apa-apa setiap kali mampir ke Boots. Gue cuma diam-diam mencatat nanti mau beli apaan, dan setiap kali mampir, daftarnya makin panjang, hahaha.

Anyway, sehari setelah pindahan dan menyadari kalo gue ga punya sampo, akhirnya gue membulatkan tekad untuk pergi ke Boots dengan misi membeli toiletries dan perkakas kecantikan. Boots sendiri banyak banget cabangnya di Bangkok, hampir di setiap pusat perbelanjaan ada deh kayanya. Mampirlah gue ke Boots di gedung Tesco Lotus Rama I, yang cuma sepuluh menit naik bus nomor 113 atau 47 dari kampus, dan lima menit naik tuk-tuk ke apartemen (tawar dulu sampe supirnya mau dibayar 20 baht :D). Sesampainya di kamar, gue langsung nyobain sunblock muka yang baru dibeli. Nah lho, kok warnanya beda sama yang gue punya sekarang? Dem, ternyata sunblock yang gue beli itu warnanya putih, meskipun di kemasannya bilang warnanya "natural" dan bukan "white". Yee, padahal kan gue sengaja bela-belain beli itu seharga dua ratus sekian sekian baht karena bisa jadi tinted moisturiser juga. Aduh gimana yes, mubazir dong?

Ternyata tidak, saudara-saudara!
Kegundahan hati gue berakhir seketika saat gue membalik bukti belanja dan membaca,
"We will be happy to exchange for merchandise or give a refund if the product is returned in good condition within 30 days of purchase. Please retain this receipt and show to the store where you made this purchase."
Wah, bukan sehari dua hari atau satu minggu, bahkan lebih dari return policy sepatu di film My Name Is Khan! Hore!

Maka, pergilah gue dua hari kemudian ke Boots, dengan si sunblock yang masih terpajang manis di kotak kemasan. Maksud hati sih mau nuker sunblock, tapi cemas juga takut ditolak dengan segala macam justifikasi sepihak. Eh, ternyata mas-mas pharmacist-nya baik banget! Dengan bahasa Inggris yang fasih, dia bantuin gue milih sunblock baru setelah gue bilang, "I bought this two days ago but it has different colour with the one I already have, can I exchange it?". Dia bahkan bilang, gue boleh minta refund kalo gue mau. Wow, diganti uang tunai seharga barang waktu dibeli, siapa menolak?

Singkat cerita, gue ga nemu warna sunblock gue yang lama, jadilah gue minta refund. Yay, fresh money - uang segar! :D

Pas lagi nunggu duit refund, tatapan gue terdampar di sebuah pamflet di kasir. Gue sih awalnya ga ngerti isi pamfletnya (maklum, buta huruf), tapi ternyata ada terjemahan bahasa Inggrisnya. Pembelian di atas sekian baht dapat bonus senilai sekian, bisa pilih satu dari lima set sampel produk kosmetik yang tersedia. Dan pembelian di atas sekian sekian baht (dua kali lipat yang pertama) bonusnya lebih seru lagi. Nah lho, gue kan kemarin ini belanjanya lebih dari yang sekian sekian, tapi kok ga dapet bonus? Komplainlah gue ke si mas-mas pharmacist, dan dia langsung minta maaf sedalam-dalamnya dan langsung nawarin gue pilihan bonus yang tersedia.

Gue melirik satu set yang ada tinted moisturiser-nya dengan penuh damba, dan mas-mas pharmacist dengan baik hatinya mengizinkan gue membuka plastik dan ngetes warna si tinted moisturiser itu. Pas gue tanya apa ada warna lain, dia menghilang buat ngecek, oh ternyata ga ada warna lain. Gue tanya lagi apa ada set lain yang juga berisi si tinted moisturiser, dia ke belakang lagi, dan balik lagi dengan tampang apologetik sambil bilang kalo stoknya habis. Ya sudah, ambil yang ada di depan mata saja deh jadinya.
Aduh, makin ga enak hati deh jadinya, setelah sebelumnya menyangka kalo gue ga bakal bisa exchange barang apalagi refund. Maaf ya mas, saya sudah jadi pembeli yang galak dan berprasangka buruk..

Tapi cerita ini belum selesai, karena hari ini tanggal sembilan belas Agustus. Nah lho, apa hubungannya?
Jadi begini saudara-saudara sekalian, karena belanjaan gue itu lumayan banyak, gue dikasih tiga kupon diskon masing-masing senilai 250 baht, yang berlaku buat belanja produk skincare (lokal buatan Boots) minimal 300 baht. Tapi kuponnya ga bisa digabung, alias hanya berlaku satu kupon per transaksi. Wow, tampak lumayan. Tapi karena hari ini hari terakhir, kuponnya harus dibelanjakan kalau tidak mau tersia-siakan.
Lirik punya lirik, merk produk skincare yang di-cover sama kupon ini ada empat, dan dua di antaranya adalah produk anti-aging. Buset, gue kan masih muda belia. Skip. Jadi ada dua pilihan tersisa, tapi kok ga ada yang harganya pas 300 baht? Kalau ga dua ratusan, langsung loncat ke 350-an. Nemu merk yang tampaknya oke, tapi harganya 299 baht - kalo mau beli dua produk bakal habis minimal 400. Skip! Wah, tinggal satu merk yang tersisa, dan dia punya body lotion dan body butter yang harganya 350 baht. Cucok nih, tinggal dibeli satu-satu aja, biar semua kuponnya kepake. Ga apa-apa ya mas, saya ga licik kok, saya hanya berbelanja dengan strategi... hehehe.

Eh, tunggu dulu. Body lotion yang gue beli ini punya khasiat whitening dan SPF 30 toh? Berarti whitening sunblock - yang juga gue beli kemarin - bakal ga guna dong? Tanya ah, boleh minta refund lagikah? Wah, ternyata mas-mas pharmacist yang ramah itu bilang boleh! Hore lagi! Refund tiga ratus baht dibayar tunai! :D

Monday 9 August 2010

first day school!

Bayangkan antusiasme Nemo si ikan badut kecil menjelang hari pertama sekolah.

Nemo di belantara lautan, gambarnya dari sini.

Sekarang, bayangkan si Nemo harus mengenakan seragam dengan kancing kemeja harus ada logo sekolahnya, pakai sabuk dan bros yang juga ada logo sekolahnya, tapi semua perintilan itu belum ada yang dia beli (memang seperti apa sih seragamnya?).

Bayangkan juga si Nemo baru datang ke sebuah anemon di belahan laut antah berantah yang, meskipun tetangga-tetangganya mirip dia, mereka bicara dengan bahasa ikan yang berbeda, sehingga dia cuma bisa mendengar "glup glup glup", dan kesulitan bahkan untuk memesan makanan di kantin, karena agamanya melarangnya makan daging babi.

Dan di anemon antah-berantah itu, dia belum punya tempat yang tetap untuk ditinggali selama masa kuliahnya yang relatif singkat, karena bilik anemon sewaan rata-rata harus disewa paling tidak setengah tahun lamanya. Padahal dia sudah menclok di anemon itu selama sembilan hari.
Dan si Nemo tidak punya uang untuk membayar deposit si bilik sewaan, karena sekolahnya masih butuh waktu sebelum menunjukkan bahwa mereka murah hati.
Jadi, ketika bangun di Senin pagi ini, Nemo gundah gulana tiada tara.

Sekarang, bayangkan gue sebagai Nemo. Tapi jangan bayangkan gue tinggal di anemon. Oke. Bagus.

Hari ini, si Nemo pergi sekolah dengan hati gundah karena belum punya rumah. Dia datang untuk membeli atribut seragam dan memeriksa jadwal kelas, karena hari ini tidak ada kuliah. Maka, dia memutuskan untuk menyusup ke dalam kelas manajemen marketing (semacam itulah), yang sebenarnya tidak diikutinya. Materi di kelas itu bukan sesuatu yang menarik perhatiannya, meskipun kelasnya sendiri menarik. Tapi si Nemo lebih tertarik dengan jurnalistik.

Tak hanya itu, dia harus pula meninjau bilik anemon sewaan yang jadi incaran, mudah-mudahan segala urusan dan negosiasi mulus lancar dan bisa segera pindah.

Urusan bilik anemon sewaan ternyata berakhir bahagia. Karena membayar separuh uang deposit di muka, si Nemo boleh pindah ke bilik itu secepatnya. Sisa separuh uang deposit dan satu bulan uang sewa di muka boleh dibayar kemudian setelah si Nemo mendapat dukungan sewarna rumput laut dari sekolah. Oh betapa senangnya si Nemo, kini ia hanya perlu membelanjakan dukungan yang didapat dari sekolah untuk membuat biliknya layak huni. Bukti pembayaran deposit dan salinan kontrak sudah di tangan, tinggal datang bawa badan dan barang-barang ketika rasa hati sudah ingin pindah.

Tapi mudah-mudahan ada pilihan yang lebih meringankan. Masih ada hari esok, dan semoga saja apa yang terjadi di hari esok membuatnya tidak perlu menyewa bilik anemon itu sama sekali.

Di akhir hari, si Nemo menyadari, bahwa ketika pulang ke rumah dia harus mengerjakan setidaknya dua pe-er: laporan keuangan harian dan posting blog. Tapi si Nemo senang, karena sudah membeli kartu pass untuk naik kereta langit, dan yang lain-lain juga.

Saturday 7 August 2010

Kisah Raja yang Dipuja

Sebagai orang yang buta monarki, gue berangkat ke Thailand dengan pemahaman yang sangat minim tentang keluarga kerajaan. Di Indonesia memang ada sejumlah kerajaan dan kesultanan, tapi toh mereka bertahan dengan alasan yang cenderung kultural, tanpa pengaruh signifikan ke pemerintahan di tingkat nasional. Contohnya Kesultanan Yogyakarta. Tapi, berdasarkan hasil obrolan ilmiah (tsah!) sama Bu Eni Maryani, gue dapet info kalau Sri Sultan Hamengkubuwono X masih dianggap sebagai figur pemimpin yang "sempurna" di Yogyakarta, baik sebagai gubernur maupun raja. Makanya, cerita Bu Eni, segelintir orang Yogya nggak setuju Sri Sultan jadi Presiden. Mereka nggak rela rajanya dicela-cela, sehingga tidak bisa lagi dipuja, karena tidak lagi tampak sempurna.

Itulah sebabnya gue pengen bikin penelitian terkait keluarga kerajaan. Kenapa bukan tentang keluarga kerajaan? Karena topik itu tergolong sesuatu yang teramat sangat sensitif, seperti SARA, jadi agak beresiko dan susah diteliti. Lagipula, gue lebih tertarik dengan pengaruh keluarga kerajaan yang teramat besar, dan bagaimana itu mempengaruhi kehidupan orang-orang di sini. Misalnya, hari Kamis depan bakal ada Mother’s Day atau Hari Ibu, hari libur nasional untuk memperingati hari ulang tahun Ratu Sirikit. Sejak gue sampai di Bangkok seminggu lalu, foto-foto sang ratu sudah banyak terpampang di seantero kota sebagai tanda penghormatan.

Raja Bhumibol Adulyadej, Putra Mahkota Maha Vajiralongkorn, dan Ratu Sirikit.
(foto diambil dari sini)


Gue belum sempat ngobrol banyak dengan temen-temen gue yang asli Thailand seputar keluarga kerajaan, terutama karena topik ini rawan banget kalo dibahas di tempat umum (kecuali lagi ada di tempat yang orang-orangnya cuma bisa bahasa Thai). Baru seminggu setelah gue di Bangkok, gue tahu kenapa Raja Bhumibol Adulyadej, atau Rama IX, begitu disayangi dan dihormati rakyatnya.

Menurut Tuk, temen gue yang asli Thailand, Rama IX adalah raja yang benar-benar berdedikasi. Beliau sudah jadi seperti ayah bagi seluruh rakyatnya. Maka, dengan alasan yang sama terkait dirayakannya Hari Ibu, Hari Ayah di Thailand dirayakan untuk memperingati hari ulang tahun sang raja.

Rama IX adalah raja yang memperkenalkan hujan buatan di Thailand, dan hujan yang pertama kali itu dia bikin sendiri. Kalau ada konflik di daerah pemerintahannya, sejauh dan seterpencil apapun, beliau akan datang sendiri untuk menenangkan keadaan. Sang raja juga menguasai semua bahasa daerah suku-suku di Thailand, jadi nggak ada cerita rajanya gagap komunikasi atau butuh penerjemah lokal. Waktu terjadi pertumpahan darah di Thailand tahun 1972 dan 1993, konflik reda seketika begitu sang raja membuat pernyataan publik, yang singkat tapi mengena, "Sesama orang Thailand tidak saling bunuh".

Jadi inget cerita Pompam, asisten dosen di kampus gue, kalau sampai sekitar sepuluh tahun lalu, Raja akan datang ke acara wisuda universitas-universitas negeri di seluruh Thailand. Bukan cuma hadir sebagai tamu kehormatan atau ngasih kata sambutan, tapi Raja bakal menyerahkan ijazah langsung pada para wisudawan. Karena alasan kesehatan, kegiatan ini akhirnya digantikan oleh putri sang raja. Maklumlah, satu kali acara wisuda bisa berdiri lama banget, tiga sampai lima jam nonstop!

Itu cuma sedikit dari banyak alasan kenapa Rama IX begitu dipuja "anak-anak"nya. Maka, jangan heran kalau ada lèse-majesté – hukuman berat bagi mereka yang melakukan penghinaan terhadap keluarga kerajaan. Bisa-bisa berurusan panjang lebar sama polisi dan berakhir lima belas tahun di penjara, tidak peduli pelakunya orang lokal atau pendatang. Tapi, kalau kata Tuk, orang-orang macam ini tidak akan dipenjara – mereka bisa jadi mati duluan di tempat karena dihakimi massa. Orang Thailand tidak rela kalau sosok yang begitu berjasa bagi kehidupan mereka dibicarakan keburukannya. Jadi, hati-hati dengan penggunaan kata บิดา (Bidā), yang artinya "father" atau "ayah" di ruang publik.

"Cinta pada 'ayah'-lah yang bikin negara ini (masih) bersatu," bilang Tuk.

p.s : Gue ga bisa buka halaman wikipedia yang isinya profil raja, diblokir karena isinya dianggap berbahaya. Tapi, ini dan ini lumayan banget buat tambahan informasi. Kalau Departemen Kominfo bisa punya kekuatan semacam ini, mereka bakal blokir apa ya?


Friday 6 August 2010

lopburi tragedy

Rencananya, hari ini gue dan Linda mau pergi ke Lopburi.
Linda ini adalah pacar dari adiknya temen gue, yang rumahnya saat ini menjadi tempat penampungan gue untuk sementara. Dia mau ke Lopburi untuk urusan kerjaan, dan gue jelas lebih milih ikut dia daripada bengong di rumah atau diajak keliling kampus sama teacher assistant. Lumayan, bisa ketemu monyet-monyet.

Seperti biasa, perjalanan jauh selalu bikin gue ngantuk. Jadi tidurlah gue sepanjang jalan. Eh, tiba-tiba gue ngerasa mobilnya Linda ngerem mendadak. Begitu bangun, ada bagian belakang mobil pick-up nangkring tepat di depan muka gue. Walah, tabrakan!

Gue lirik ke kursi supir, Linda ga ada. Ternyata dia di luar mobil, dan tampak lagi marah-marah sama si supir mobil pick-up. Ga lama kemudian, dia buka pintu mobil. "You'd better go outside, I'm afraid the damage will start a fire," katanya. Terkantuk-kantuk, gue keluar dan akhirnya panas-panasan di pinggir jalan selama hampir dua jam.

Tuk, pacar Linda, sampai ke TKP ga lama kemudian. Sebelumnya, ada petugas dengan rompi bertuliskan "rescue", yang mampir untuk ngecek apa ada yang terluka. Untungnya sih semuanya sehat walafiat. Abis itu ada polisi, terus petugas asuransi yang datang untuk motret kondisi mobil dan ngurusin klaim kerusakan. Setelah mindahin barang-barang dari mobil Linda ke mobil Tuk, kami pergi ke pusat servis. Mobilnya sendiri berangkat ke pusat servis diantar mobil derek.

Sejak kecelakaan terjadi sampai mobil diderek, banyak pembicaraan terjadi di sana, dan semuanya ga gue pahami. Tapi satu yang terlihat jelas, Linda dan Tuk tampak bete berat. Linda orangnya lemah lembut banget, dan Tuk senang bercanda, tapi saat itu tampang mereka kusut luarbiasa. Sesaat setelah semua urusan dengan orang asuransi beres, Tuk mencetus, "Welcome to Thailand!"

Ternyata, menurut aturan lalu lintas di Thailand, kalau terjadi tabrakan antarmobil, yang salah adalah mobil yang ada di belakang, karena mobil itu yang nabrak. Padahal, menurut Linda, mobil di depannya juga salah, karena ngebut dan kemudian ngerem mendadak. Dan justru kerusakan yang lebih parah dialami sama mobilnya Linda, sementara mobil di depannya cuma penyok sedikit di sudut. Untung saja mobilnya diasuransi, penumpangnya ga ada yang terluka, dan ga harus berurusan panjang lebar sama polisi.

Kecelakaan itu jelas bikin batal acara jalan-jalan ke Lopburi. Apalagi, mobil Linda harus mendekam sebulan di pusat servis. Akhirnya, hari ini gue makan makanan khas Thailand utara (ada makanan yang mirip pepes daging cincang, tapi ternyata otak babi) dan belanja seragam di Tawanna, tempat belanja murah yang mirip Pasar Murah Kepatihan. Lima ratus empat puluh baht saja untuk tiga kemeja dan dua rok. Ya sudah, kita berjumpa lain kali saja ya, monyet-monyet..

Thursday 5 August 2010

:'(

saya kesal sama mereka yang berjanji akan mengisi pundi-pundi uang saya.
karena janji kalian palsu semua.
jadi saya terlunta-lunta di ibukota sebuah negara asing yang hurufnya saya tidak bisa baca.

saya kesal sama kampus saya yang baru.
karena ternyata salah satu penerima beasiswa ini adalah mahasiswa universitas swasta, padahal salah satu persyaratan yang mereka bikin sendiri, mereka bilang kalau beasiswa ini buat mahasiswa universitas negeri.
karena uang beasiswa belum cair.
karena kartu mahasiswa baru selesai akhir bulan.
karena mereka ga bantuin buat dapet kamar di asrama kampus.
jadi harus cari sendiri.
jadi duit makin menipis.
tapi sampai sekarang belum dapet apartemen dengan harga terjangkau.
padahal harus beli seragam.
padahal harus bertahan hidup.
dan kuliah mulai hari senin.
dan puasa mulai hari rabu.
saking risaunya, saya belum foto-foto sama sekali.

Tuhan, semoga apartemen di Rongmuang punya dua kamar kosong hari Minggu nanti buat saya dan mbak Malorie.
Kalau nggak bisa, semoga bisa numpang di rumah Marisa sampe Lebaran, jadi apartemennya biar buat mbak Malorie aja.
Kalo nggak bisa, semoga saya dapet kamar di Petchaburi soi 7, biar dekat mesjid.
Biarpun ga bisa ngerti khatibnya ngomong apa, saya pengen tarawih..

Sunday 1 August 2010

the first 50 hours

Gue udah sampai di Bangkok.
Sejak Sabtu malam ku sendiri tiada teman kunanti, gue resmi jadi penghuni sementara di Thailand setelah visa gue dicap di imigrasi Bandara Suvarnabhumi dengan tulisan "used". Dan, seperti yang pernah gue duga sebelumnya, gue mendadak buta huruf. Yang mana agak menyebalkan, karena menghambat gue jajan di pinggir jalan (soalnya cuma bisa baca harga doang tapi ga bisa baca menunya).

Tapi gue ga bisa bertingkah macam turis di sini, meskipun seminggu ini gue masih santai karena kuliah belum mulai. Karena ternyata tampang gue adalah tampang tipikal orang Thailand. Alamakjang. Pantesan setiap orang nyapa gue dengan bahasa Thailand, bahkan mbak-mbak kasir Tops market nanya sesuatu ke gue pake bahasa Thailand (yang gue asumsikan sama maknanya dengan mbak-mbak kasir Alfamart yang nanya apa gue punya kartu member), yang gue jawab dengan gelengan kepala semata.

Dan toh, terlepas dari faktor bawaan (baca: muka), gue masih bernasib seperti turis. Dirampok taksi yang mutermuter di jalan, kehabisan mata uang lokal karena harus bayar hostel dengan uang tunai, menggunakan internet di hape dengan semena-mena sampai pulsanya langsung habis (persis kaya waktu di Jerman, cuma nominalnya aja beda), berhari Minggu di pusat perbelanjaan sampai kaki dan dompet nelangsa, dan naik BTS masih dengan single ticket. Lihat saja nanti kalo gue udah punya student pass setelah resmi jadi mahasiswa... muahahahahaha. Selain semua yang telah tersebut di atas, gue juga masih agak bingung dengan akomodasi sementara sebelum dapat apartemen yang pasti bakal disewa selama empat bulan ke depan, . Maka jadilah minggu ini gue turis yang menggembel dengan koper tiga puluh kilo kurang empat ons..

Besok waktunya gue ke kampus buat ngurusin segala tetek bengek administrasi. Mudah-mudahan bisa sekalian berburu apartemen, paling tidak sampai rekan-rekan dari Filipina itu datang tanggal lima, jadi nanti gue tinggal merayu mereka buat pilih tempat yang sama dengan gue *evilsmirk. Mudah-mudahan juga dapet apartemen yang ada dapurnya, jadi bisa masak supermi, aamiin.

Lapar. Tapi ngantuk. Jadinya tidur aja, biar bisa mimpi makan.
I cannot believe am saying this, but I cannot wait for Monday.