Sejauh yang saya tahu, media massa itu punya kekuatan yang dahsyat. Kalau dia raja, mungkin bisa ditambah dengan kata "maha" di depan kata dahsyat, untuk membedakannya dari acara musik di televisi. Kekuatan itu punya daya yang besar untuk mempengaruhi siapa-siapa yang menikmatinya. Seperti apa dan bagaimana kekuatan itu bisa jadi begitu berpengaruh, membuatnya jadi begitu menarik untuk dikaji (dan menakutkan untuk Menkominfo). Maka, di perpustakaan kampus saya, waktu berburu contoh-contoh skripsi sebagai referensi mata kuliah Seminar, sudah tidak aneh rasanya menemukan judul yang dimulai dengan "Pengaruh Media XXX terhadap YYY" atau semacamnya.
"Media" dan "influence" sudah menjadi kata kunci atas rasa penasaran banyak orang, yang kemudian termanifestasi dalam penelitian-penelitian. Saya juga terjangkit rasa penasaran itu. Tapi, alih-alih penasaran tentang bagaimana "media mempengaruhi", saya lebih tertarik tentang apa (-siapa?) yang "mempengaruhi media". Jika media bisa punya kekuatan mempengaruhi yang dahsyat bagi khalayaknya, yang punya kekuatan untuk mempengaruhi media pasti sakti mandraguna (atau, paling tidak, banyak duitnya).
Berada di Thailand dan menikmati sajian media massa setempat adalah pengalaman yang menarik. Televisi mungkin sebuah pengecualian, karena di apartemen saya tidak ada televisi. Radio juga mungkin iya, karena bahasanya saya tidak pahami. Koran lokal juga iya, karena saya bahkan tidak bisa baca hurufnya.
Sejak sampai di negeri gajah putih ini, saya hampir tidak pernah menonton televisi. Sekalinya nonton, yang ada di layar kaca adalah dua ekor panda asal kebun binatang di Chiang Mai, yang aktivitasnya disiarkan langsung oleh Panda Channel dua puluh empat jam sehari. Waktu saya nonton, panda-panda itu cuma lagi tidur sambil menggeliat, tapi Linda terus-terusan bilang, "aih lucu bangeeeeeet...". Err... I wonder why Thai people loves panda better than elephant.
Walhasil, saya banyak beroleh informasi dari internet. Acara televisi dan radio bisa di-streaming, dan koran berbahasa Inggris bisa dibaca halaman elektroniknya. Untuk menikmati akses internet tanpa batas di apartemen, saya harus membayar ekstra 400 baht setiap bulan - harga yang lumayan untuk kecepatan mengunduh rata-rata seratus kilobyte per detik. Yang mahal justru tarif listriknya, yang konon untuk pemakaian mahasiswa alakadarnya saja bisa mencapai 1.000 baht sebulan. So much to spend to stay updated? Welcome to Thailand...
Singkat cerita, berbekal apa yang sudah dan sedang dikonsumsi dari media setempat, saya terpicu untuk membuat sebuah penelitian. Tentang kekuatan macam apa yang begitu berdaya untuk mempengaruhi isi media massa, apa yang sudah diperbuat oleh kekuatan itu, dan apa yang terjadi kemudian. Tapi saya tidak sedang membicarakan konglomerasi. Ada kekuatan lain, yang di Indonesia dahulu pernah begitu berpengaruh di masa Orde Baru. Inilah, menurut saya, yang menjadi suatu hal yang sama-sama ada di Thailand dan Indonesia. Mudah-mudahan, hal ini juga bisa menjadi salah satu signifikansi yang membuat penelitian saya kelak memiliki nilai akademis tinggi.
Rasa penasaran pribadi ini sedikit-sedikit mulai terfasilitasi. Saya bercita-cita menghabiskan tiga bulan sisa waktu di Thailand untuk memburu jawaban-jawaban atas rasa penasaran itu. Supaya kelak, saat pulang nanti, hasil buruan itu bisa membantu saya mengakhiri karir akademik sebagai mahasiswa jurnalistik.
Nanti, setelah resmi tamat kuliah dan bergelar Sarjana Ilmu Komunikasi, saya mau mencari rejeki (dan jodoh? hahaha) di luar Indonesia. Deutsche Welle sepertinya seru, Al Jazeera boleh juga. Supaya bisa bertahan hidup di belantara lalu lintas negara tujuan, saya mau belajar naik sepeda. Saya akan tinggal di apartemen studio dengan balkon dan pemandangan lampu kota. Di waktu senggang, saya mau ikut kelas yoga. Di akhir pekan, saya akan pergi bersuka ria. Saya juga akan rajin menabung, supaya bisa centil-centilan di spa, dan tidak sengsara di hari tua. Mumpung bulan puasa, saya mau jadi ekstra manja.