ramadhan memang sudah selesai. tapi, kebiasaan begadang sampai subuh, terus baru tidur dan bangun jam dua belas siang dan langsung berangkat kuliah, ternyata bertahan. lumayan sih, jadi bisa nyicil tugas performing arts yang deadline-nya besok.
dan gue memutuskan untuk membuat ke-begadang-an ini jadi lebih bermanfaat: sekalian puasa aja. hehehe, yuk mari cuci rice cooker dulu, terus sahur pakai sambal goreng ati.
ngomong-ngomong...
melewati satu bulan berpuasa di thailand, sebetulnya ga ada hal yang memberatkan secara signifikan. emang sih, cuaca di siang hari selalu di atas tiga puluh derajat. tapi, siang-siang gue kuliah di ruangan ber-ac, yang seringkali malah bikin merinding kedinginan. selalu ada yang bawa makanan dan minuman buat dicemil di kelas sih, tapi kecuali gue lagi teramat kehausan, gue ga bakal ngiler-ngiler amat.
waktu ikut lomba debat di mahidol, gue harus puasa sambil debat sembilan ronde dalam empat hari (2-3-3-1). meskipun ga bisa makan refreshment pas baru disaji, semua roti dan kue itu bisa gue ambil dan simpen di tas buat buka puasa. ada orang yang makan siang di depan gue ga bakal secara signifikan bikin gue pengen makan. toh, kebanyakan dari menu yang dimakan bakal melibatkan babi, dan dalam kondisi ga puasa juga gue ga bisa makan babi.
mungkin udah ga terlalu relevan lagi ngomongin soal puasa saat bulan puasa justru udah lewat. tapi justru ini yang bikin gue kepikiran soal prinsip "menghormati orang yang lagi puasa". sebuah justifikasi yang membuat para pedagang makanan tidak boleh memajang dagangannya di muka umum, dan orang-orang jadi ragu-ragu makan di ruang publik, khusus selama ramadhan.
selama puasa di bangkok, gue ga lagi merasakan privilese itu, di mana ga ada makanan dan minuman yang mejeng dengan bebas di ruang publik, menggoda iman. di sisi lain, orang-orang yang ga puasa kehilangan kebebasan mereka untuk makan di hadapan orang lain, yang mungkin saja sedang puasa, demi "menghormati orang yang lagi puasa" atau "menghormati bulan ramadhan". tapi, justru ketika gue ga makan pada siang hari, di tengah orang-orang yang bisa makan dan minum sepanjang waktu, gue bisa bener-bener belajar buat menahan diri dari godaan lapar dan haus. terlebih lagi, orang-orang akan mulai bertanya kenapa gue ga makan atau minum, dan gue jadi punya kesempatan untuk menjelaskan sama mereka apa itu puasa, kenapa gue puasa, dan bla bla bla. "penghormatan" dari mereka pun datang karena mereka paham, bahwa apa yang gue tengah lakukan adalah sebuah ibadah. bukan sesederhana "demi menghormati bulan ramadhan dan orang-orang yang berpuasa saat itu".
salah seorang panitia lomba, yang kemudian jadi sering ngobrol sama gue, bilang begini:
"kalo gue makan di depan lo, dan bikin lo kepengen makan, gue dosa ga?"
gue ga ingat pasti apa yang pernah diomongin guru agama gue tentang ini, tapi gue percaya kalau segala sesuatu itu bergantung pada niat. maka gue bilang sama dia, jawabannya iya dan tidak. iya, kalo lo sengaja makan di depan orang puasa, dengan tujuan orang itu membatalkan puasanya. tapi kalo lo makan di depan orang puasa tanpa tahu dia lagi puasa, atau tanpa niat menggoda orang yang lagi puasa itu untuk batal, ga ada masalah. kalaupun kemudian orang itu membatalkan puasa karena tergoda, ya itu urusan dia dan Tuhan.
ketika makanan dan minuman berseliweran dengan bebas saat gue puasa, bukannya gue ga jadi kepengen. justru, itu jadi kesempatan buat gue belajar menahan diri lebih kuat lagi. gue belajar untuk ga tergoda beli es teh pake bubble jam dua belas siang pas udara lagi panas-panasnya, ga mengeluh soal cuaca, dan nawar tuk-tuk sambil senyum.
berpuasa selama bulan ramadhan di bangkok, rasanya sama seperti berpuasa bukan pada bulan ramadhan di indonesia. makanan-minuman ada di mana-mana, dan orang-orang bebas makan dan minum di mana saja (kecuali tempat-tempat tertentu kaya bts atau mrt). dan seperti halnya tidak semua orang berpuasa di bulan ramadhan, di luar bulan ramadhan juga masih ada orang yang berpuasa.
kalau dilihat dari faktor berjualan makanan dan minuman saja, bukankah tampak bahwa "penghormatan terhadap orang yang berpuasa" menjadi tidak konsisten, karena hanya berlaku dalam waktu tertentu? dengan begini, orang yang berpuasa di luar bulan ramadhan jadi tidak mendapatkan "penghormatan" sebagaimana yang bisa mereka dapat di bulan ramadhan. juga, "penghormatan terhadap yang berpuasa" seolah tampak hanya seputar tidak makan dan minum di hadapan mereka.
terus terang, gue bingung dengan bentuk "penghormatan" macam ini. tapi, "penghormatan untuk orang yang berpuasa" dalam bentuk tidak berjualan makanan secara "terang-terangan" selama bulan puasa ini rasanya kurang adil. mereka yang makan di muka umum akan dapat tatapan menghakimi, seolah berkata, "ih, ini kan bulan puasa, kok lo siang-siang makan sih?".
di bangkok, gue kehilangan rasa minder untuk makan di depan umum selama bulan puasa ketika gue kebetulan libur. tapi, ketika gue puasa, orang-orang yang tau kalau gue muslim akan berhenti makan seketika kalau gue muncul. atau minimal, mereka akan bilang, "maaf ya, gue makan dulu...". dan itu tanpa gue minta. kalaupun masih ada yang cuek makan-minum di depan gue, ya itu bukan salah mereka. kan mereka ga tau gue puasa, dan gue juga ga pasang pengumuman di jidat, "woi, gue lagi puasa, jangan makan di depan gue!"
buat gue, justru ketika godaan itu ada di mana-mana, rasanya akan lebih menyenangkan waktu buka puasa dan menyadari, "wow, hari ini gue bisa tamat puasa!". ketika potensi eksternal, seperti makanan dan minuman, ditahan, godaannya mungkin sedikit berkurang. tapi bukannya puasa itu yang paling utama bukanlah ga makan dan ga minum, tapi menahan hawa nafsu secara umum?
seperti apa kata nyokap gue, "buat apa kalau kamu niat puasa, ga makan dan ga minum seharian, tapi masih marah-marah, bohong, dan ga shalat lima waktu?"