Monday, 19 July 2010

when you get paid to study

Pada suatu waktu di masa lalu, tepatnya pada zaman jahiliyah di masa SMA yang imut tapi labil, seorang sahabat gue pernah nyeletuk di blognya soal betapa sekolah itu adalah sebuah siksaan. Nah, karena disiksa itu ga enak, murid-murid harus mendapatkan kompensasi atas siksaan itu. Dan kompensasi apa yang paling cepat bisa didapat, dinikmati, dan dihabiskan? Duit, dong... hahaha.

Dan gue pun mengkhayal... betapa menyenangkannya ketika lo dibayar untuk sekolah. Segala kesusahan yang ditimbulkan tugas-tugas, ujian, rutinitas belajar, dan macam-macam lainnya, akan terbayar. Secara harafiah. Kompensasi dari segala siksaan itu pun bisa dihabiskan untuk membeli rupa-rupa keriaan, tergantung apa yang bisa bikin senang dan dibayar dengan uang. Toh, at the end of the day, it is all about "get some lose some". Atau, seperti istilah Pak Yoppy waktu SMA dulu, "opportunity cost". Pelajar jadi ga ada bedanya sama pengangguran di Eropa: dapat tunjangan entah-apa-namanya.

Ternyata, dibayar untuk sekolah bukanlah sebuah konsep yang utopis, meskipun itu cukup utopis kalau mau diterapkan untuk semua orang. Umumnya, para pelajar harus membayar untuk sekolah, tetapi yang membayari mereka sekolah belum tentu diri mereka sendiri. Di Indonesia, misalnya, sekolah berarti harus bayar SPP (entah per bulan atau per semester), uang gedung, uang praktik, beli buku, beli seragam, bla bla bla. Dan di Indonesia juga, sudah terlalu banyak kasus para calon pelajar yang tidak bisa sekolah, karena tidak ada yang membayari. Kalau mau sekolah, harus ada pihak yang siap membayari dulu. Mau ngapain di sekolah, itu urusan belakangan.

Lalu, apa bedanya "dibayari sekolah" dengan "dibayar untuk sekolah"? Ketika mereka dibayar untuk sekolah, para pelajar ini akan terikat serangkaian syarat dan ketentuan dengan pihak yang membayari. Seringkali, syarat dan ketentuan ini melibatkan target berupa pencapaian akademik tertentu. Pokoknya, target macam apapun itu, selama masih bisa diraih, kompensasi atas "siksaan akademis" bisa dinikmati. Contoh paling sederhana adalah iming-iming orangtua pada anaknya, kalau ranking satu nanti dibeliin mainan baru. Setelah sekolah, ada hadiah.

Contoh lainnya, beasiswa. Para calon pelajar akan ramai-ramai mendaftar, "jual diri", ikut beragam seleksi, dan nanti tinggal urusan rezeki saja, dapat atau tidaknya. Kalau dapat, mereka bisa bersekolah tanpa pusing mikirin siapa yang bayar. Bahkan, kalau beruntung dapat beasiswa penuh, ga perlu pusing-pusing mikirin gimana bisa bertahan hidup di luar kampus. Mereka cukup perlu pusing sama urusan sekolah. "Lo belajar aja yang bener, hidup lo biar gue yang tanggung." Bahkan, dengan beasiswa, ada dosen gue yang bisa kuliah sambil jalan-jalan keliling Eropa! Kalau dia bikin buku catatan perjalanan, lengkaplah sudah rasa iri gue.

Hal lain yang secara spesifik langsung membuat gue kepikiran soal "dibayar untuk sekolah" adalah beasiswa ikatan dinas. Sepupu gue yang terancam dapet beasiswa ini akan berkesempatan kuliah di ITB dengan biaya Departemen Perdagangan, di mana dia akan kerja setelah lulus nanti. Two less worries at their own times - ga pusing bayar kuliah, dan setelah lulus kuliah ga pusing cari kerja. Terdengar seperti masa depan yang menjanjikan dan cerah (meskipun agak predictable, sebagian orang ga bakal komplain juga soal ini).

Dibayar untuk sekolah memang terdengar asyik. Setelah ada pihak baik hati yang mau menanggung segala keruwetan hidup di masa sekolah, yang tersisa buat orang yang sekolahnya dibayari ini ya tinggal satu. Sekolah yang bener. Kaya pepatah di sampul kertas buat buku tulis, sukses selalu bagi si rajin. Tanggung jawabnya akan terasa beda ketika pihak yang membayari sekolah itu bukan orang tua, the eternal donator which sometimes are taken for granted.

Dulu, gue bercita-cita dapet beasiswa karena itu tampak sebagai sebuah pencapaian akademis yang sangat keren. Sayangnya, gue dulu berpikir kalau beasiswa itu hanya untuk orang-orang yang berada di atas garis kepintaran atau di bawah garis kemiskinan. Kalau gue dapet beasiswa yang dialokasikan untuk orang-orang semacam itu, gue sungguh medioker yang tak tahu diri. Jadilah gue menggunakan alasan itu untuk menjadi cupu dan tidak mengincar kesempatan beasiswa apapun, sampai tingkat tiga kuliah. Dibayar untuk kuliah adalah sesuatu yang terlalu muluk buat gue.

Ketika pada akhirnya gue dapet beasiswa, meskipun buat satu semester, gue merasa menjadi anak sekolahan yang harus sekolah dengan sebenar-benarnya. Lupakan bolos kelas karena bosan, hujan, ga punya ongkos, kompetisi, festival, forum, atau segala kesempatan untuk jalan-jalan. Atau mungkin ini cuma masalah waktu, dan beasiswa ini cuma jadi cantelan doang. Sudah waktunya gue belajar dengan rajin, dan dengan rajin menghalau godaan untuk menjadi malas. Memang sih, nilai gue selama kuliah di Bangkok ga bisa ditransfer, jadinya ga bakal pengaruh apapun ke transkrip gue yang sekarang, mau sebagus atau sejelek apapun. Gue cuma bakal kuliah tiga hari seminggu, dan sisanya bisa buat hura-hura keliling Thailand. Gue bakal dapet lima puluh ribu baht untuk biaya hidup sepanjang tahun 2010 di negeri gajah putih.

Sebetulnya gue bisa punya banyak sekali kesempatan untuk main-main. Liburan musim panas memang musimnya acara-acara anak sekolahan, yang konferensi lah, forum pemuda lah, festival pelajar lah, macam-macamlah. Dan hal-hal yang begini selalu tampak menggoda, soalnya bisa ke luar negeri tapi ga terkesan buang-buang uang tapi tetep bisa jalan-jalan, hahaha. Kayanya seru sekali kalau bisa ke Kairo awal Agustus ini selama sebelas hari, langsung lanjut ke Seoul sampai akhir bulan. Ada dua acara forum pemuda yang serupa tapi tak sama, dan gue bisa berangkat ke kedua tempat itu hampir tanpa menguras kocek pribadi sama sekali. Terbayanglah tempat-tempat baru, yang asing tapi menggoda rasa ingin tahu... visa-visa baru di paspor yang distempel di imigrasi... foto-foto baru dan teman-teman baru di situs jejaring sosial... berburu tiket murah di expedia... susun itinerary, bikin checklist dan mencoretinya satu demi satu sebelum berangkat...

Gue bisa aja sih nekat bolos. Bilang aja kalau toh keikutsertaan gue dalam acara-acara beginian akan turut mengharumkan nama kampus, as I would always say for a justification. Tapi kok kalau begitu lagi, di sebuah kampus yang sama sekali lain, dengan alasan keberadaan di sana yang begitu berbeda, kok ya rasanya gue lebih parah daripada menjadi seorang medioker yang ga tau diri...

0 feedbacks:

Post a Comment