Wednesday, 21 July 2010

balada kairo

Habis baca ini. Dan jadi ngenes.

Gue bukan orang yang berbakat menabung secara alami (#last resort).
Jadi perempuan simpenan, gue ga mau disimpen-simpen karena gue suka ngelayap (#15). Penghasilan sendiri belum punya, apalagi suami kaya (#14).
Lulus kuliah aja belum, maka jangankan jadi wartawan, pegawai perusahaan multinasional, apalagi pegawai negeri, jadi TKI pun tak mungkin... kecuali kalau magang di Deutsche Welle itu jadi, tapi entah kenapa gue sangat amat ragu akan feasibility-nya (#10-12 dan #8).
Jadi blogger ngetop, ah nulis artikel buat tugas kuliah aja belum becus (#9).
Gue ga ada bakat jual-menjual, maka coretlah kemungkinan berkarir di multilevel marketing (#7).
Dulu waktu masih SMA dan dalam masa pertumbuhan, gue bercita-cita jadi pramugari, tapi itu sudah gue kubur dalam-dalam karena mata minus, asma, dan tinggi badan yang alakadarnya (#6).
Kalo mau ikut konferensi ke luar negeri (lagi), harus pontang-panting ngemis dulu cari sponsor sana-sini biar ujung-ujungnya ga pake kartu kredit nyokap kaya waktu ke Jerman kemarin (#5).
Jarang berolahraga bukan awal yang baik untuk menjadi atlet profesional, apalagi yang cabangnya ajaib... macam angkat besi pake gigi (#4).
Bakat seni gue sama minimnya dengan bakat menabung (#3).
Menang kontes kecantikan sama tidak mungkinnya dengan menjadi pramugari, dengan alasan yang sama (#2).

Soal ikut perkumpulan yang memungkinkan gue pergi ke luar negeri, well, klub bahasa Inggris tampaknya potensial, dan World Universities Debating Championship terdengar menggiurkan. Tapi pendaftaran WUDC buat tahun ini di Botswana bahkan udah masuk tahap pembayaran, dan tahun depan, meskipun deket di De LaSalle University, Filipina, gue amat sangat berharap udah lulus kuliah. Tapi toh sebelumnya sudah teramat banyak kompetisi debat internasional yang rutin diadakan di mana-mana setiap tahunnya, dan selalu ada yang baru muncul, dan semuanya menggiurkan. Tapi lagi, kampus terlalu pelit melilit untuk mendanai seluruh kontingen tim debat ke luar negeri, setidaknya untuk beberapa tahun belakangan ini.

Ikut undian yang hadiahnya jalan-jalan gratis, ga pernah beruntung. Sekalinya ikut lomba, dapet hadiah ikutan International Youth Forum di Kairo, Mesir, tinggal bawa badan, paspor, dan koper. Tapi terpaksa harus dilepas.
Demi akhir dari perburuan ke tujuan-tujuan lainnya, yang ternyata tidak berjodoh. Demi karir akademik yang di masa lalu sering ditelantarkan, dan semoga di masa depan lebih gemilang. Demi salah satu impian terbesar dalam hidup gue.
Alasan nomor tigabelas.

Monday, 19 July 2010

when you get paid to study

Pada suatu waktu di masa lalu, tepatnya pada zaman jahiliyah di masa SMA yang imut tapi labil, seorang sahabat gue pernah nyeletuk di blognya soal betapa sekolah itu adalah sebuah siksaan. Nah, karena disiksa itu ga enak, murid-murid harus mendapatkan kompensasi atas siksaan itu. Dan kompensasi apa yang paling cepat bisa didapat, dinikmati, dan dihabiskan? Duit, dong... hahaha.

Dan gue pun mengkhayal... betapa menyenangkannya ketika lo dibayar untuk sekolah. Segala kesusahan yang ditimbulkan tugas-tugas, ujian, rutinitas belajar, dan macam-macam lainnya, akan terbayar. Secara harafiah. Kompensasi dari segala siksaan itu pun bisa dihabiskan untuk membeli rupa-rupa keriaan, tergantung apa yang bisa bikin senang dan dibayar dengan uang. Toh, at the end of the day, it is all about "get some lose some". Atau, seperti istilah Pak Yoppy waktu SMA dulu, "opportunity cost". Pelajar jadi ga ada bedanya sama pengangguran di Eropa: dapat tunjangan entah-apa-namanya.

Ternyata, dibayar untuk sekolah bukanlah sebuah konsep yang utopis, meskipun itu cukup utopis kalau mau diterapkan untuk semua orang. Umumnya, para pelajar harus membayar untuk sekolah, tetapi yang membayari mereka sekolah belum tentu diri mereka sendiri. Di Indonesia, misalnya, sekolah berarti harus bayar SPP (entah per bulan atau per semester), uang gedung, uang praktik, beli buku, beli seragam, bla bla bla. Dan di Indonesia juga, sudah terlalu banyak kasus para calon pelajar yang tidak bisa sekolah, karena tidak ada yang membayari. Kalau mau sekolah, harus ada pihak yang siap membayari dulu. Mau ngapain di sekolah, itu urusan belakangan.

Lalu, apa bedanya "dibayari sekolah" dengan "dibayar untuk sekolah"? Ketika mereka dibayar untuk sekolah, para pelajar ini akan terikat serangkaian syarat dan ketentuan dengan pihak yang membayari. Seringkali, syarat dan ketentuan ini melibatkan target berupa pencapaian akademik tertentu. Pokoknya, target macam apapun itu, selama masih bisa diraih, kompensasi atas "siksaan akademis" bisa dinikmati. Contoh paling sederhana adalah iming-iming orangtua pada anaknya, kalau ranking satu nanti dibeliin mainan baru. Setelah sekolah, ada hadiah.

Contoh lainnya, beasiswa. Para calon pelajar akan ramai-ramai mendaftar, "jual diri", ikut beragam seleksi, dan nanti tinggal urusan rezeki saja, dapat atau tidaknya. Kalau dapat, mereka bisa bersekolah tanpa pusing mikirin siapa yang bayar. Bahkan, kalau beruntung dapat beasiswa penuh, ga perlu pusing-pusing mikirin gimana bisa bertahan hidup di luar kampus. Mereka cukup perlu pusing sama urusan sekolah. "Lo belajar aja yang bener, hidup lo biar gue yang tanggung." Bahkan, dengan beasiswa, ada dosen gue yang bisa kuliah sambil jalan-jalan keliling Eropa! Kalau dia bikin buku catatan perjalanan, lengkaplah sudah rasa iri gue.

Hal lain yang secara spesifik langsung membuat gue kepikiran soal "dibayar untuk sekolah" adalah beasiswa ikatan dinas. Sepupu gue yang terancam dapet beasiswa ini akan berkesempatan kuliah di ITB dengan biaya Departemen Perdagangan, di mana dia akan kerja setelah lulus nanti. Two less worries at their own times - ga pusing bayar kuliah, dan setelah lulus kuliah ga pusing cari kerja. Terdengar seperti masa depan yang menjanjikan dan cerah (meskipun agak predictable, sebagian orang ga bakal komplain juga soal ini).

Dibayar untuk sekolah memang terdengar asyik. Setelah ada pihak baik hati yang mau menanggung segala keruwetan hidup di masa sekolah, yang tersisa buat orang yang sekolahnya dibayari ini ya tinggal satu. Sekolah yang bener. Kaya pepatah di sampul kertas buat buku tulis, sukses selalu bagi si rajin. Tanggung jawabnya akan terasa beda ketika pihak yang membayari sekolah itu bukan orang tua, the eternal donator which sometimes are taken for granted.

Dulu, gue bercita-cita dapet beasiswa karena itu tampak sebagai sebuah pencapaian akademis yang sangat keren. Sayangnya, gue dulu berpikir kalau beasiswa itu hanya untuk orang-orang yang berada di atas garis kepintaran atau di bawah garis kemiskinan. Kalau gue dapet beasiswa yang dialokasikan untuk orang-orang semacam itu, gue sungguh medioker yang tak tahu diri. Jadilah gue menggunakan alasan itu untuk menjadi cupu dan tidak mengincar kesempatan beasiswa apapun, sampai tingkat tiga kuliah. Dibayar untuk kuliah adalah sesuatu yang terlalu muluk buat gue.

Ketika pada akhirnya gue dapet beasiswa, meskipun buat satu semester, gue merasa menjadi anak sekolahan yang harus sekolah dengan sebenar-benarnya. Lupakan bolos kelas karena bosan, hujan, ga punya ongkos, kompetisi, festival, forum, atau segala kesempatan untuk jalan-jalan. Atau mungkin ini cuma masalah waktu, dan beasiswa ini cuma jadi cantelan doang. Sudah waktunya gue belajar dengan rajin, dan dengan rajin menghalau godaan untuk menjadi malas. Memang sih, nilai gue selama kuliah di Bangkok ga bisa ditransfer, jadinya ga bakal pengaruh apapun ke transkrip gue yang sekarang, mau sebagus atau sejelek apapun. Gue cuma bakal kuliah tiga hari seminggu, dan sisanya bisa buat hura-hura keliling Thailand. Gue bakal dapet lima puluh ribu baht untuk biaya hidup sepanjang tahun 2010 di negeri gajah putih.

Sebetulnya gue bisa punya banyak sekali kesempatan untuk main-main. Liburan musim panas memang musimnya acara-acara anak sekolahan, yang konferensi lah, forum pemuda lah, festival pelajar lah, macam-macamlah. Dan hal-hal yang begini selalu tampak menggoda, soalnya bisa ke luar negeri tapi ga terkesan buang-buang uang tapi tetep bisa jalan-jalan, hahaha. Kayanya seru sekali kalau bisa ke Kairo awal Agustus ini selama sebelas hari, langsung lanjut ke Seoul sampai akhir bulan. Ada dua acara forum pemuda yang serupa tapi tak sama, dan gue bisa berangkat ke kedua tempat itu hampir tanpa menguras kocek pribadi sama sekali. Terbayanglah tempat-tempat baru, yang asing tapi menggoda rasa ingin tahu... visa-visa baru di paspor yang distempel di imigrasi... foto-foto baru dan teman-teman baru di situs jejaring sosial... berburu tiket murah di expedia... susun itinerary, bikin checklist dan mencoretinya satu demi satu sebelum berangkat...

Gue bisa aja sih nekat bolos. Bilang aja kalau toh keikutsertaan gue dalam acara-acara beginian akan turut mengharumkan nama kampus, as I would always say for a justification. Tapi kok kalau begitu lagi, di sebuah kampus yang sama sekali lain, dengan alasan keberadaan di sana yang begitu berbeda, kok ya rasanya gue lebih parah daripada menjadi seorang medioker yang ga tau diri...

Sunday, 18 July 2010

pilih salah satu!

Konon, meskipun hidup itu awalnya bukan pilihan, hidup itu ga bisa lepas dari pilihan. Kadang-kadang, pilihan-pilihan yang tersedia itu ga ada yang tampak bagus, sehingga yang akhirnya dipilih adalah yang paling mending. Jarang-jarang, pilihan yang ada justru malah semuanya tampak bagus, sehingga mau milih pun jadi bingung. Tapi yang paling sering adalah situasi di mana orang bisa mengklaim kalau mereka "ga punya pilihan", tapi toh mau ga mau tetep harus milih.

Memilih itu gampang-gampang susah. Gampang, kalau udah tau apa yang mau dipilih. Kalau belum, ya lain cerita. Memilih itu bisa jadi keharusan, tapi bisa juga jadi hak. Yang bagi gue menyebalkan ketika "harus" memilih adalah, dari sekian banyak pilihan yang ada, cuma ada satu yang bisa diambil. Padahal itu sebuah konsekuensi yang sangat logis, tapi tetep aja most of the time gue akan berkelit dengan alasan, "gue kan orangnya terbiasa multitasking!". Hahaha.

Pergi ke Bangkok ini juga sebuah pilihan, sekaligus sebuah konsekuensi.

Waktu menghadap Dekan buat minta surat rekomendasi, gw mendapat satu pertanyaan yang paling dibenci mahasiswa tingkat akhir: "Kamu mau lulus kapan?". Pertanyaan itu gue jawab dengan mantap, "Deadline saya Oktober 2011, Pak." Tapi begitu ditanya lagi, "Itu sudah termasuk kamu (ikutan) exchange ini, belum?", gue cuma bisa nyengir asem dan bilang, "Kan belum tentu dapet, pak..."

Syahdan, gue ternyata ditakdirkan berjodoh dengan Bangkok. Rencana garis waktu kuliah pun "terpaksa" dirombak. Gue menunda job training alias magang di media massa cetak sampai tahun depan, sambil harap-harap bakal ada lowongan di koran berbahasa Inggris di ibukota. Sebelumnya, gue memilih untuk magang pas liburan, dan menghabiskan semester genap untuk kuliah penuh waktu. Konsekuensi yang paling jelas adalah, tentu saja, tidak lulus tepat waktu... yang rasanya tidak lagi biasa-biasa saja ketika dua sahabat gue lulus kuliah bareng-bareng tanpa gue.

Siap-siap pergi sekolah di negeri orang berarti berkutat dengan banyak pilihan. Pergi naik maskapai apa, tanggal berapa? Tinggal di mana, apartemen yang seperti apa? Ke kampus nanti naik apa? Sebelum dapet apartemen, numpang di mana, sama siapa? Apa aja yang masuk koper, apa yang dibeli di sana?

Kurang dari tiga minggu sebelum keberangkatan, satu demi satu pilihan pun diambil. Tiket Jakarta-Bangkok sudah dibeli, meskipun agak ga rela bayar 1,1 juta buat AirAsia. Daftar apartemen potensial sudah disusun dan siap dijelajahi di tempat. Calon laptop baru juga udah dipilih-pilih berdasarkan spesifikasi impian yang sesuai dengan anggaran.

Dan... seperti halnya dalam film-film, saudara-saudara... konflik pun muncul. Lucunya, gue udah sempat membayangkan kalau hal ini bakal terjadi, bahkan menulis tentangnya di blog ini. Sayangnya, gue ga sampai membayangkan akhir yang bahagia.

Sebenarnya, konflik ini adalah kejutan yang menyenangkan. Perjalanan ke Kairo, Mesir, selama seminggu dalam rangka International Youth Forum, my very kind of trip. Sebagai hadiah lomba esai dari sebuah organisasi (yang bakal gue wakili dalam youth forum), perjalanan ini sepenuhnya gratis! Yang bikin perjalanan ini berkonflik adalah tanggal pelaksanaannya, 3-14 Agustus 2010, karena kuliah gue di Bangkok dimulai pada tanggal 9 Agustus! Plus, gue harus berangkat bersama-sama rombongan organisasinya, dari dan ke Jakarta. Huhuhu...

Berbagai pilihan pun bermunculan di kepala gue, menanti untuk dipilih. Gue bisa memilih untuk nekat berangkat ke Kairo. Itu berarti gue harus bolos kuliah minggu pertama, menjadwal ulang keberangkatan ke Bangkok, yang bakal berdampak fatal terhadap tiket pesawat dan visa yang udah beres diurus. Atau gue bisa memilih untuk stick to plan A, dan melupakan bayangan untuk melihat piramid selain dari yang ada di iklan cemilan wafer, tanpa mengeluarkan biaya sepeser pun untuk bisa sampai ke sana...

Sialnya, gue ga punya banyak waktu untuk memilih. Tiket Jakarta-Bangkok gue tertanggal tepat akhir bulan ini, ulang tahun Harry Potter yang ke-tigapuluh. Dan tanggal itu tinggal dua minggu dari sekarang. Dalam jangka waktu segitu, masih banyak hal yang harus diurus sebelum berangkat, dan gue ga bakal kembali ke Indonesia sampai Januari tahun depan. Plus, gue juga masih butuh waktu untuk pemulihan, setelah dikirim menginap lima hari di rumah sakit sama si nyamuk belang.

Terlepas dari apa pilihan-pilihan yang udah diambil, gue berusaha menikmati setiap konsekuensinya. Toh, it might not be as enjoyable if I have it in any other way. Dan untuk menikmati konsekuensi, itu juga sebuah pilihan...

Friday, 9 July 2010

visa punya cerita

Visa, selain paspor dan tiket pesawat, adalah satu hal yang bakal paling menyita perhatian dalam persiapan perjalanan ke luar negeri. Visa jugalah yang dulu membuat gue beranggapan kalau ke luar negeri itu luar biasa ribet dan mahalnya.

Untunglah, sebagai warga negara Indonesia, gue bisa menikmati bebas visa untuk 30 hari di sejumlah negara, termasuk di dalamnya negara-negara ASEAN. Perjalanan ke Singapura dan Malaysia pun bisa berlangsung mulus tanpa bikin visa dulu: cukup kasih tunjuk paspor di bagian imigrasi bandara setempat, langsung deh dapet cap visa social visit, gratis! Oh ya, sebelum awal Juni 2010, para pemegang paspor Indonesia masih harus bayar 25 dolar untuk dapat visa on arrival Kamboja. Sekarang? Sudah gratis juga dong, cihuy!

Tidak untungnya, untuk kasus gue yang bakal kuliah satu semester di Bangkok, pengurusan visa ternyata masih dibutuhkan. Cek punya cek, gue harus ngurus visa non-imigran kategori Education. Visa ini punya dua macam masa berlaku; tiga bulan dan satu tahun. Lah, kan kuliah efektif gue aja lamanya empat bulan? Nah, ternyata oh ternyata, yang bisa gue pilih adalah yang tiga bulan, terus satu bulan sebelum masa berlakunya habis harus diperpanjang. Oke, kedengarannya ga susah... yuk mari siap-siap bikin visa!

Entah ini untung atau bukan, tapi seperti kata iklan kosmetik, pengalaman mengajariku segalanya. Setelah sebelumnya buta total sama urus-mengurus visa, pengalaman ngurus Visa Schengen di Kedutaan Besar Jerman dua bulan lalu langsung menyisakan kenangan pedih dan duka lara tiada tara.
Lesson learned: bikin visa itu tidak luar biasa ribet dan mahal. Hanya luar biasa ribet.... dan keribetan itu sangat luas cakupannya; mulai dari antrian sepanjang ular naga sejak pagi buta, sampai para satpam penjaga pintu yang mentalnya udah kaya penjajah. Demi bisa mencoret kata "luar biasa", cuma ada satu cara: do not miss a thing!

Maka, cerita pun berlanjut ke Jalan Imam Bonjol nomor 74, Jakarta. Kedutaan Besar Thailand, saudara-saudara! Tempatnya agak sepi, boro-boro ada antrian di depan pintu gerbang masuk. Gue pertama kali sampai di tempat ini jam dua siang, dan karena udah bukan waktunya masukin aplikasi visa, gue cuma ngobrol ringan sama para satpam. To my surprise, satpam-satpam ini bersahabat sekali! Jauuuuuuuuuuuuuuuuh banget bedanya sama yang versi Kedutaan Jerman. Mereka memang sama-sama bukan sumber informasi yang bisa diandalkan ("telepon hotline aja, Mbak!"), tapi mereka tahu caranya senyum. Waktu gue tanya ke mereka apa gue boleh masuk ke pos jaga di dalam gedung, karena harus ngambil barang berharga dari dalam tas, mereka sama sekali ga keberatan. Bahkan, salah seorang petugas polisi yang ikut jaga di kedutaan sempat curhat soal betapa arogannya sejumlah kedutaan dalam hal penjagaan keamanan. "Mereka ga mau sehari-hari dijaga sama kita (polisi Indonesia). Kayak yang ga percaya. Tapi kalau ada masalah macam-macam, ngadunya pasti ke kita juga..."

Besoknya, gue dateng tepat jam sembilan pagi. Pelayanan visa Thailand buka setiap hari kerja, jam sembilan pagi sampai dua belas siang untuk masukin aplikasi, dan jam setengah dua siang sampai tiga sore untuk ambil visa yang udah jadi. Bagian konsuler di Kedutaan Besar Thailand ternyata pintunya di sisi kiri pintu utama (yang ada papan nama kedutaannya). Masuknya dari Jalan Pekalongan. Ga ada antrian sama sekali di depan pintu pagarnya. Pas masuk halaman depan pun cuma ada satu satpam, dan ga ada pemeriksaan fisik atau barang bawaan. Maka melengganglah gue masuk ke dalam ruangan yang mirip ruang tamu, cuma bedanya ada loket aja di sisi kirinya. Udah ada satu bapak-bapak bule tua di situ, berdiri di depan loket buat masukin aplikasi. Ealah, si bapak ini sempet-sempetnya bilang ke petugas di loket, "if I pay extra, can I get my visa tomorrow?". Padahal, pembuatan visa Thailand ini hanya tiga hari kerja! Buat gue, yang pengalaman sebelumnya adalah ngurusin Visa Schengen dengan masa pembuatan sepuluh hari kerja, visa yang di-apply hari ini dan bisa diambil lusa itu sungguh bisa disyukuri. Untung deh, masih ada sejumlah tempat pelayanan publik di mana ga dikenal istilah "uang pelicin"!

Proses apply visa-nya sendiri ga ribet. Pertama, gue main dulu ke situsnya Ministry of Foreign Affairs, Kingdom of Thailand. Di sini, semua informasi terkait persyaratan dokumen untuk visa udah dipajang lengkap, sesuai dengan jenis-jenis visanya. Untuk apply visa non-imigran dalam rangka belajar, dokumen-dokumen yang gue bawa adalah paspor, bukti pemesanan tiket bolak-balik, acceptance letter dari Chulalongkorn (ga perlu hard copy surat asli, print-out dari soft copy-nya juga oke), surat keterangan mahasiswa (yang menerangkan bahwa gue adalah benar mahasiswaUnpad yang akan mengikuti program ini bla bla bla), plus formulir yang udah diunduh dari internet dan diisi dari rumah (bisa juga didapat dan diisi di tempat, cuma satu lembar kok). Gue bahkan ga butuh dokumen bukti keuangan, padahal udah diurus.

Visa untuk pelajar dengan masa berlaku 90 hari ini harganya 65 dolar (2.000 baht), dan dibayarkan dalam dolar. Keterangan ini ga ada di situs, jadi gue harus keluar kedutaan dan nuker duit dulu di money changer, yang untungnya walking distance. Kembaliannya dikasih dalam dolar juga. Visa ini sifatnya single entry, jadi kalau gue keluar Thailand, visanya bakal otomatis hangus. Kalau mau masuk Thailand lagi, dan tinggal lebih dari masa berlaku visa turis (30 hari), gue harus apply re-entry permit, yang harganya beda tergantung visanya single atau multiple entry.

Setelah tiga hari kerja, visa gue pun jadilah. Gue dateng jam dua siang, disamperin satpam yang minta tanda bukti pengambilan visa. Pak satpamnya masuk ke ruangan tempat gue apply visa dua hari sebelumnya, gue diminta nunggu di halaman depan. Ga sampai lima menit, pak satpam muncul lagi dengan paspor gue di tangan. Beda dengan on arrival tourist visa waktu ke Singapura dan Malaysia, yang gue dapet dalam wujud cap, visa non-imigran ini bentuknya stiker. Warnanya biru muda, ada lambang kerajaan Thailand-nya, ga ada foto si empunya visa, tapi ada keterangan harga visanya... ehehehe.

Setelah memperpanjang masa tinggal di ibukota demi menunggu visa selesai, saatnya pulang! :D

Monday, 5 July 2010

perburuan bermula

Selamat tanggal lima Juli!
Ini berarti empat minggu lagi menjelang keberangkatan ke Bangkok, dan lima minggu lagi sebelum hari pertama kuliah. Yay!

Setelah sebelumnya dibuat puyeng bukan kepayang sama on-campus accommodation yang mahalnya nggak ketulungan, dan belantara search engine itu malah memunculkan kamar-kamar hostel yang tarifnya per malam, tadi malam Mbah Google berbaik hati ketika gw mengetikkan kata kunci "petchaburi room rent". Apartemen-apartemen, kebanyakan yang studio atau berkamar satu, pun bermunculan dengan tarif per bulan rata-rata lima ribu baht. Hore!

Ngomong-ngomong, "Petchaburi" adalah nama sebuah jalan di Bangkok. Pertama kali denger nama jalan ini dari Marya, sobat asal Singapura, yang ngasi rekomendasi tempat makan halal. Terus dikasih info lagi sama Marisa, keponakannya temennya temen nyokap yang tahun ini mulai kuliah di Chula, kalo ada kost-an murah di sana yang harganya 4.500-an. Gw tertarik buat cari apartemen di daerah sini, karena selain rekomendasi dari dua temen tadi, Petchaburi juga ga terlalu jauh sama kampus, dan satu jalan sama Kedutaan Besar Republik Indonesia. Kan lumayan, kalo lagi bokek bisa mampir minta makan. Hore!

Perburuan gw malam ini sebetulnya sangat terbantu oleh beberapa acuan.
Pertama adalah file pdf yang diunduh dari sebuah situs milik ibu-ibu pemilik jaringan Thai Spa-something. Lumayan, ada tiga peta di sana, di masing-masing peta ada minimal lima apartemen. Yang kedua adalah situs 9apartment.com, yang ternyata punya pilihan pencarian yang sangat oke: residence nearby university. Cukup buka window atau tab baru, informasi detail apartemen-apartemen potensial itu bisa dilihat. Lumayan buat perbandingan harga, fasilitas, sama lokasi. Perburuan apartemen dengan harga yang terjangkau beasiswa pun mulai menemukan akhir yang bahagia. Jalur transportasi darat di Bangkok ternyata bisa dilihat di internet, misalnya bus kota, dan kita dengan gampangnya tinggal masukin tempat tujuan di kotak pencarian untuk tahu bus apa aja yang lewat sana dan rutenya gimana. Makin jelaslah gimana cara berpindah tempat dari apartemen ke kampus. Hore lagi!

Tetapiii.. gw masih punya beberapa pe-er soal perburuan apartemen idaman ini.
Pertama adalah cita-cita gw sejak kecil untuk bisa ke sekolah jalan kaki. Sialnya, cita-cita ini justru baru terkabul ketika gw ikutan Greifswald International Student Festival di Jerman bulan lalu. Sebetulnya sih alasannya ada dua: gw ga punya cukup euro (dan kerelaan) untuk naik bus bolak-balik rumah host-tempat workshop, dan pilihan yang tersisa selain naik bus dan jalan kaki adalah naik sepeda.
Kedua, adalah kecenderungan gw untuk berangkat kuliah di detik-detik terakhir, dengan harapan akan keberuntungan ekstra bisa langsung dapet damri atau angkot yang melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.
Ketiga, gw nyari apartemen yang deket jalan raya dan/atau terminal bus atau stasiun kereta, nggak jauh dari pusat perbelanjaan, dan banyak tempat makan tom yam. :D
Keempat, dan yang "agak" serius, adalah masa tinggal. Beberapa apartemen yang syarat minimum stay-nya enam bulan sih udah dicoret duluan, karena gw cuma bakal kuliah empat bulan. Tapi kan ya nggak mungkin gw tinggal ngepas empat bulan... Gw berencana datang seminggu sebelum kuliah mulai, biar bisa kenalan dulu sama Bangkok, dan tentu saja menyiapkan room sweet room. "Sial"-nya, perkuliahan semester ganjil selesai pas pertengahan Desember. Itu berarti, kalau gw masuk awal Agustus, gw bakal nyewa apartemen lebih dari empat bulan. Bisa aja sih gw sewa cuma sampai awal Desember, tapi gw ogah berat kalo harus pindahan menjelang musim ujian. Sewa sekalian sampe akhir Desember? Hmm... sayangnya, gw berencana untuk cabut dari Thailand segera setelah kuliah beres, karena gw pengen flashpacking ke negara-negara di sekitar Thailand, dan pulang ke Indonesia dari Malaysia atau Singapura naik pesawat setelah tahun baru.
Maka itu berarti alasan kelima dan yang paling krusial, saudara-saudara: upaya penghematan beasiswa!

Rencana sementara sih adalah mengontak kenalan atau sanak saudaranya kenalan yang udah menclok duluan di Bangkok, minta rekomendasi tempat tinggal sementara sebelum nemu apartemen. Best case scenario-nya sih, numpang sampai minggu pertama kuliah selesai, baru check-in apartemen sekitar tanggal dua belas Agustus supaya pas sewa apartemennya empat bulan. Till then, ya survei hasil perburuan saja terus sampai mabok... hehehe.

Karena gw adalah orang yang suka berbagi kebahagiaan, informasi akomodasi nan terjangkau ini juga sudah gw forward ke teman-teman Filipina yang senasib sepenanggungan. Akan sangat menyenangkan jika kelak kami tinggal di gedung apartemen yang sama, jadi akan mudah untuk pulang bersama-sama setelah nonton Harry Potter and the Deathly Hallows...