gue dan hidung gue punya hubungan benci tapi cinta, alias love-hate relationship. hubungan itu kembali menghangat sejak gue kembali ke bandung dua minggu yang lalu.
ceritanya berawal dari pertengahan mei tahun lalu, saat gue sudah muak dengan hidung gue yang suka tersumbat kalau udara dingin, disusul bersin-bersin yang kadang ditemani ingus. maka pergilah gue ke seorang dokter spesialis telinga-hidung-tenggorokan yang paling populer se-bandung raya. ketika itu, beliau memvonis gue punya alergi (tapi gue lupa alergi apaan, entah debu atau kelembapan). lalu, gue dikasih obat racikan dalam bentuk kapsul. dapet sebotol kecil gitu.
waktu gue ke bangkok, obat alergi ini masih ada sekitar setengah botol gitu. selama empat bulan di bangkok, obat ini hampir ga terpakai. kalaupun diminum, paling cuma sehari, antara satu sampai tiga kali, habis itu ya buyarlah alerginya. gue malah lebih sering minum jamu sachet yang buat orang pintar itu... hehehe.
kalau dipikir-pikir lagi, mungkin penggunaan masker ada pengaruhnya juga. waktu di bangkok, orang-orang yang hidung dan mulutnya tertutup masker jadi pemandangan biasa di mana-mana, termasuk di sarana transportasi. penggunaan masker ini jadi populer terutama setelah wabah virus h1n1 alias flu babi (di sana disebutnya flu 2009 dan bukan swine flu, mungkin karena orang sana suka babi :p). waktu itu, kalau gue udah mulai bersin-bersin dan hidung mulai berair, saatnya pakai masker supaya alergi gue ga terpicu dan jadi kambuh.
begitu pulang ke indonesia, gejala-gejala alergi gue itu muncul. gue pikir, oh mungkin lagi adaptasi sama cuaca, karena ga perlu adaptasi sama zona waktu. tapi masa sih adaptasinya sampai dua minggu, dan bahkan ga kunjung reda ketika obatnya udah habis? haduhhh.
jadilah gue memutuskan untuk mengunjungi dokter tht malam ini. saking populernya beliau, gue harus telepon dulu ke tempat praktiknya buat daftar. saat gue daftar dan akhirnya dapet nomor urut, itu bahkan belum sampai tengah hari, tapi gue dapet nomor 85 dan jadwal periksanya adalah jam sebelas malam! oh wow. eh tapi jangan salah, ini terhitung lebih awal, karena waktu bulan mei gue ke sana itu, gue dapat nomor urut seratus sekian, dan diperiksa jam setengah satu pagi...
singkat cerita, gue meluncur jam sepuluh malam dari rumah ke jalan belitung, tempat pak dokter ini praktik. empat puluh menit kemudian... lho kok pagarnya ditutup? jadi ga buka praktik nih?
pemandangan itu membuat gue kehabisan kata-kata. tapi masih mending lah ya, daripada kehabisan tisu...