Thursday 13 May 2010

begadang jangan begadang

Sudah sejak kemarin kebiasaan lama gw kumat: internetan sampai pagi menjelang karena kantuk tak kunjung datang. Ini adalah dampak sampingan dari hasrat nekat untuk pergi ke Eropa, plus iseng bikin hitung-hitungan anggaran buat ongkos hidup bahagia selama satu semester di Thailand. Halah.

Jadi begini ceritanya.

Pada awal Mei 2010, setelah menghabiskan dua hari menebar kabar gembira kalo gw akan menghabiskan Agustus sampai Desember tahun ini sebagai mahasiswa pertukaran di Bangkok, saatnya kembali ke realita: GrIStuF. Festival pelajar internasional di sebuah kota bernama Greifswald yang berada nun jauh di ujung dunia Jerman ini akan dimulai tiga minggu lagi, saudara-saudara! Ini berarti gw harus udah beli tiket supaya bisa bikin visa. Sementara, setelah sebulan penuh pontang-panting, upaya gw mencari individu atau lembaga yang cukup murah hati dan rela mengongkosi gw ke negeri Om Hitler itu masih belum menampakkan hasil yang menenangkan hati.

Oke, singkat cerita, minggu itu kemudian menjadi minggu yang begitu hectic dan penuh harapan bahwa bukti pembelian tiket Jakarta-Berlin-Jakarta akan muncul begitu saja di inbox gmail. Ujung-ujungnya sih gw beli tiket juga, meskipun dengan harga yang mendadak melonjak gara-gara nilai tukar rupiah anjlok. Urusan apply visa juga akhirnya beres, tinggal ambil paspor minggu depan. Sialnya, akibat tak kunjung munculnya kabar gembira ria dari sponsor, gw masih dibayang-bayangi krisis keuangan yang terancam berdampak sistemik. Sementara, tanggal 25 Mei semakin dekat, dan gw bahkan ga tau harus ngisi koper dengan apaan aja.

Kenapa gw kemudian malah memutuskan untuk bikin itung-itungan budget ke Thailand, gw ga punya justifikasi. Tapi yang jelas, setelah melihat angka-angka dalam THB dan USD yang kemudian dikonversi ke IDR, ternyata gw malah jadi tambah puyeng. Dan akhirnya, semalam gw baru tidur jam setengah enam pagi.

Sepanjang begadang, itung-itungan budget pun berkembang jadi pre-departure plan yang lebih ekstensif. Alih-alih cuma anggaran, gw juga bikin catatan tentang persiapan visa, daftar sponsor potensial, kalender akademik, mata kuliah apa aja yang mau diambil, etc etc, sampe mikir mau bikin penelitian tentang apaan di sana. Itung-itung cari data awal buat skripsi, kan lumayan bisa nyicil.

Googling punya googling, ternyata housing di Bangkok itu (lumayan) mahal. Buat on-campus accommodation aja, harga kamar single itu minimal 6.900 baht sebulan – yang di asrama mahasiswa internasional harganya 7.500. Kalo kamarnya bagi dua sama roommate, bisa dapet 3.650-5.000 baht. Cari di luar kampus lebih parah – minimal sepuluh ribu – dan belum plus plus listrik air internet pajak danlainsebagainya. Sementara, monthly living cost yang bakal gw dapet juga ya segitu. Mak, mau makan apa gw nanti?

Belum lagi biaya di luar ongkos kuliah dan bertahan hidup, yang tampaknya harus ditanggung sama gw sebagai tokoh utama. Gw sih berharap ga bakal terlalu butuh buku, karena ada perpustakaan, internet, dan gigapedia, dan ga ada tunjangan buku. Gw juga belum tau pasti soal jaminan kesehatan, apa udah masuk school tuition atau harus beli asuransi lagi. Tapi yang lebih krusial dari itu semua karena sudah jelas wajib adanya: seragam. Jrengjrengg.. seragam? Iya, jadi semua mahasiswa S1 di Chulalongkorn University itu wajib pake seragam, dan tanya punya tanya, ternyata seragamnya harus beli sendiri. Plus, konon harga buat mahasiswa Thai beda sama mahasiswa internasional (oh my.. semoga harga seragam gw murah).

Untuk meredakan kegelisahan, tadi malam gw ngobrol sama Gim, a friend of a friend yang kuliah Nano Techology di Chula, tanya-tanya masalah housing dan seragam. Dia kasih gw link ke website asrama kampus (yang ternyata pake bahasa dan aksara Thai, dan dia dengan baik hatinya jadi penerjemah). Ternyata oh ternyata, akomodasi itu memang perampok uang bulanan nomor satu! Pertama, room rate-nya ternyata udah naik. Kedua, belum plus plus plus. Ketiga, ada biaya asuransi, yang besarnya sama dengan harga sewa kamar sebulan. Kata Gim sih, itu buat jaminan kalo lo emang bakal tinggal di kamar itu, dan jaga-jaga supaya lo ga ngerusak kamarnya. Iya deh. Tapi tetep aja itu nggak bikin harga sewa kamar jadi terdengar lebih reasonable… hiks.

Kekhawatiran berikutnya adalah masalah roommate, yang menurut Gim, “is sort of a lottery, but 80% of the time you will win anyway”. Awalnya gw berharap buat bisa roommate-an sama kandidat yang lain (ada satu cewek lagi sih, dari Filipina), atau sama orang Indonesia. Tapi kok kayanya gw kebanyakan ngarep ya? Yasudahlah. Mungkin sudah waktunya gw mengalami segala hal seru terkait berbagi kamar dengan orang asing.

Tapi pertanyaan berikutnya adalah… kayak gimana sih skema beasiswa buat kandidat di program gw?

Dan tentu saja, gw belum dapet informasi apa-apa, karena pengumuman resminya sendiri baru bakal muncul hari ini, Kamis 13 Mei 2010. Kecurigaan pribadi gw sih berbisik-bisik kalo pihak Chula baru bakal ngasih apdet-apdet ke gw setelah pengumuman itu keluar. Toh, gw juga belum bisa apa-apa. Tanpa pengumuman resmi, gw belum bisa apply visa student dan fundraising. Tanpa informasi dari kampus, gw boro-boro bisa registrasi, apply asrama, apalagi beli seragam.

Kata Naufal, akan selalu ada hari esok sampai tahun dua ribu dua belas. Jadi, setidaknya akan ada waktu tertentu di masa depan, yang bisa dihabiskan untuk merasa khawatir. At last, a good point on procrastination.

So, why worry – at least for now?

Tidur ah.